Tech
Kelemahan Mendasar AI: Tak Punya Nalar Kritis dan Rawan Hasilkan Data Fiktif

Semarang(Usmnews)- Dikutip dari cnnindonesia.com Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi), Nezar Patria, menegaskan keyakinannya bahwa kecerdasan buatan (AI) tidak akan pernah bisa mengambil alih peran manusia secara menyeluruh. Dalam pandangannya, terdapat perbedaan mendasar antara kapabilitas mesin dan esensi kemanusiaan, terutama dalam cara berkomunikasi.
Menurut Nezar, interaksi manusia jauh lebih kompleks daripada sekadar transmisi data atau rangkaian kata. Komunikasi manusia melibatkan nuansa-nuansa mendalam seperti bahasa tubuh, gestur, ekspresi wajah, dan yang terpenting, kemampuan untuk berempati. Aspek-aspek fundamental inilah yang tidak dapat ditiru atau direplikasi oleh sistem kecerdasan buatan mana pun.Ia menjelaskan bahwa inti dari operasional AI adalah logika matematis.

“Mesin artificial intelligence ini di belakangnya bekerja dengan rumus-rumus matematika, semuanya dengan angka-angka,” ujar Nezar, seperti dikutip oleh Antara. Hal ini sangat kontras dengan cara manusia berinteraksi, yang memiliki “cara berkomunikasi yang khas manusia,” yang seringkali bersifat intuitif dan hanya dapat ditangkap maknanya secara utuh oleh sesama manusia.
Nezar tidak memungkiri bahwa perkembangan pesat teknologi AI, khususnya dengan hadirnya AI generatif, telah memicu disrupsi besar di berbagai sektor. Cara manusia berkomunikasi dan berkreasi telah banyak berubah. Proses pembuatan konten, baik itu berupa teks, gambar, maupun video, kini dapat diselesaikan dengan sangat cepat, bahkan dengan intervensi manusia yang sangat minim.
Meskipun demikian, di balik kecanggihan dan efisiensi yang ditawarkan, Nezar menekankan bahwa AI tetap memiliki kelemahan mendasar. Ia menyoroti dua hal yang menjadi pembeda utama antara manusia dan mesin, yakni “kemampuan empati dan kemampuan critical thinking (berpikir kritis).”Lebih lanjut, Nezar memperingatkan tentang potensi AI untuk mengalami “halusinasi,” sebuah istilah yang merujuk pada kecenderungan AI untuk menghasilkan keluaran (output) yang tidak akurat, menyesatkan, atau bahkan sepenuhnya fiktif.
Untuk mengilustrasikan risiko nyata dari kelemahan ini, Nezar memaparkan sebuah studi kasus serius. Ia menceritakan insiden di mana sebuah perusahaan konsultan internasional terkemuka di dunia terpaksa harus mengembalikan dana kepada pemerintah Australia. Penyebabnya adalah laporan riset dan hasil survei yang mereka serahkan ternyata tidak valid.
“Salah satu konsultan terbesar di dunia harus mengembalikan uang karena hasil konsultansi yang mereka buat, riset dan survei yang mereka lakukan, ternyata berasal dari sumber yang fiktif,” ungkap Nezar. Ia menambahkan bahwa perusahaan tersebut merujuk pada “sejumlah dokumen dan jurnal yang ternyata tidak pernah ada,” yang mengindikasikan bahwa data tersebut merupakan fabrikasi yang dihasilkan oleh AI.Oleh karena itu, Wamenkomdigi ini menggarisbawahi betapa pentingnya peran aktif manusia dalam menjaga dan mengawal nilai-nilai etika serta kemanusiaan di tengah gempuran perkembangan teknologi digital.
Ia secara khusus mengajak para praktisi di bidang komunikasi untuk tidak hanya mengandalkan teknologi, tetapi justru harus semakin giat mengasah kemampuan esensial mereka, seperti empati dan daya pikir kritis. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap pesan yang disampaikan tetap relevan, manusiawi, dan sarat akan makna.

Nezar juga menekankan keharusan adanya keterlibatan manusia (human-in-the-loop) dalam setiap proses pengambilan keputusan penting, terutama yang menggunakan bantuan AI. Langkah ini, menurutnya, krusial untuk memitigasi dan meminimalisir risiko kesalahan yang mungkin timbul akibat ketergantungan pada teknologi.”Teknologi hanyalah alat,” pungkas Nezar. Ia menegaskan bahwa di balik setiap keputusan strategis dan krusial, “tetap harus ada sentuhan manusia.”







