Nasional
Kejagung Cekal Lima Tokoh Terkait Dugaan Korupsi Pembayaran Pajak

Jakarta (usmnews) di kutip darj kompas.com Kejaksaan Agung (Kejagung) mengambil langkah tegas dalam upaya pemberantasan korupsi dengan mengajukan permohonan pencegahan ke luar negeri (cekal) terhadap lima orang individu yang diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi pembayaran pajak yang terjadi dalam periode waktu 2016 hingga 2020. Keputusan ini menunjukkan keseriusan pihak berwenang dalam mengusut tuntas praktik-praktik ilegal yang merugikan keuangan negara dari sektor pajak.
Permohonan cekal yang diajukan oleh Kejagung ini telah mendapatkan respons cepat dan persetujuan dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas). Menteri Imipas, **Agus Andrianto**, mengonfirmasi kebenaran informasi tersebut. Melalui pesan singkat pada Kamis (20/11/2025), Menteri Agus menyatakan, “Betul dan sudah kita laksanakan sesuai permintaan tersebut,” yang menegaskan bahwa implementasi pencegahan tersebut telah dijalankan sesuai prosedur yang berlaku.
Dari kelima nama yang dicekal, salah satu yang paling menonjol dan menarik perhatian publik adalah **Victor Rachmat Hartono**, yang diketahui menjabat sebagai Direktur Utama (Dirut) salah satu perusahaan rokok ternama di Indonesia, PT Djarum. Keterlibatan seorang pucuk pimpinan perusahaan besar dalam kasus dugaan korupsi pajak ini tentu saja menimbulkan sorotan tajam dari berbagai pihak mengenai integritas wajib pajak besar di Tanah Air.
Selain Victor Rachmat Hartono, empat nama lainnya yang juga masuk dalam daftar cekal merupakan individu-individu yang memiliki kedudukan penting, baik di lingkungan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak maupun yang berprofesi sebagai konsultan pajak. Keempat orang tersebut adalah:

1. **Ken Dwijugiasteadi (KD)**: Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sebagai mantan pimpinan tertinggi di Ditjen Pajak, keterlibatannya mengindikasikan adanya dugaan praktik korupsi yang terstruktur dan melibatkan level pimpinan.
2. **Karl Layman**: Seorang pemeriksa pajak muda yang bertugas di Direktorat Jenderal Pajak. Perannya sebagai pelaksana lapangan dalam pemeriksaan pajak menjadi krusial dalam memuluskan atau menghambat praktik curang.
3. **Ning Dijah Prananingrum**: Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Dua Semarang. Jabatan Kepala KPP Madya yang melayani wajib pajak dengan kontribusi besar juga rentan terhadap praktik korupsi.
4. **Heru Budijanto Prabowo**: Seorang konsultan pajak. Konsultan pajak seringkali menjadi perantara atau pihak yang memberikan saran kepada wajib pajak untuk memanipulasi besaran pajak yang harus dibayarkan, dan dalam kasus ini, diduga kuat ikut terlibat dalam skema korupsi.
Secara resmi, pencegahan ke luar negeri terhadap kelima individu ini telah berlaku efektif sejak **Kamis, 14 November 2025**, dan akan berlangsung selama enam bulan ke depan, yang berarti masa berlaku cekal ini akan berakhir pada **Kamis, 14 Mei 2026**. Langkah pencegahan ini merupakan prosedur standar yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa para terperiksa tetap berada di dalam negeri dan kooperatif selama proses penyidikan berlangsung.
Sebelumnya, Kejagung telah melakukan serangkaian tindakan investigasi yang signifikan, termasuk penggeledahan di berbagai lokasi, termasuk rumah para pejabat pajak yang terkait dengan kasus ini. Tindakan penggeledahan tersebut bertujuan untuk mengumpulkan bukti-bukti fisik dan dokumen yang dapat memperkuat dugaan adanya tindak pidana korupsi.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, **Anang Supriatna**, memberikan penjelasan lebih detail mengenai modus operandi dalam kasus ini. Menurutnya, dugaan korupsi ini melibatkan adanya “kongkalikong” atau permufakatan jahat antara sejumlah pegawai Ditjen Pajak di Kemenkeu dengan pihak wajib pajak atau perusahaan.
Inti dari permufakatan ini adalah adanya upaya yang disengaja untuk memperkecil jumlah pembayaran pajak yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak atau perusahaan. Dengan memanipulasi besaran pajak agar lebih rendah dari ketentuan yang sebenarnya, wajib pajak atau perusahaan tersebut akan mendapatkan keuntungan finansial yang besar. Sebagai “imbalan” atau kompensasi atas layanan manipulasi pajak ini, wajib pajak atau perusahaan akan memberikan sejumlah setoran, yang dalam konteks hukum dapat dikategorikan sebagai tindakan suap, kepada petugas pajak yang terlibat.
“Dia ada kompensasi, untuk memperkecil. Kalau ini maksudnya ada kesepakatan dan ada pemberian itu. Suap lah, memperkecil dengan tujuan tertentu,” tegas Anang Supriatna kepada wartawan, sebagaimana dikutip pada Selasa (18/11/2025). Pernyataan ini memperjelas bahwa kasus ini bukan hanya sekadar kesalahan administrasi, melainkan melibatkan unsur kesengajaan dan pemberian suap untuk tujuan mengurangi kewajiban pajak.
Saat ini, kasus dugaan korupsi pembayaran pajak periode 2016-2020 ini telah dinaikkan statusnya ke tahap **penyidikan**. Peningkatan status ini menunjukkan bahwa penyidik telah memiliki bukti permulaan yang cukup dan kini fokus pada pengumpulan barang bukti yang lebih kuat dan komprehensif untuk memperkuat sangkaan pidana dalam kasus pajak yang merugikan negara ini.







