Connect with us

Nasional

Kehadiran Negara yang Mendesak dalam Mencegah Bencana: Sebuah Refleksi Kritis

Published

on

Jakarta (usmnews) di kutip dari detik.com Berita duka dari Kompas.com pada 4 Desember 2025, pukul 06:20 WIB, kembali menyentakkan nurani kolektif bangsa. Sorotan terhadap tragedi kemanusiaan yang dipicu oleh **banjir bandang** dan **longsor** di beberapa wilayah Sumatera, khususnya di **Kelurahan Huta Nabolon, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara**, pada Rabu (3/12/2025), sekali lagi mengungkap luka lama dalam tata kelola bencana di Indonesia. Foto yang memperlihatkan warga harus melintas di tengah area yang hancur menjadi visualisasi pahit akan kegagalan dalam antisipasi.

Data yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Rabu (3/12) menunjukkan skala bencana yang mengerikan: total **807 jiwa meninggal**, **647 jiwa orang hilang**, dan **2.600 jiwa korban luka** di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan representasi dari ratusan keluarga yang hancur dan hilangnya potensi bangsa. Tragedi ini bukan hanya akibat dari kekuatan alam, melainkan juga hasil dari ketidaksiapan, kelalaian, dan, yang paling utama, ketidakhadiran negara secara **preventif** dan **struktural** di garis depan ancaman bencana.

### Indonesia: Rumah Abadi Bencana, Bukan Sekadar Tamu Tak Diundang

Kolumnis artikel tersebut secara tegas menyatakan sebuah kebenaran fundamental: **bencana bukan anomali**, melainkan **bagian dari alamat rumah kita**. Indonesia secara geografis dan geologis adalah negara yang sangat rentan. Kita berada di jantung **”Cincin Api Pasifik” (Ring of Fire)**, sebuah sabuk aktivitas seismik yang membuat gempa bumi dan letusan gunung berapi menjadi ancaman harian. Selain itu, sebagai negara kepulauan tropis, kita juga adalah **”negara sungai besar”** dan **”negara hujan tropis”** dengan curah hujan yang ekstrem. Kerentanan ini memastikan bahwa banjir, longsor, dan angin kencang adalah tetangga yang akrab dan permanen.

Paradoksnya, meskipun bencana adalah “tetangga yang akrab,” negara sering kali memperlakukannya seperti **”tamu tak diundang”**. Analogi ini sangatlah tajam. Seorang tuan rumah yang bijak akan senantiasa siap menyambut tetangga, namun sikap yang diperlihatkan seringkali adalah sikap terkejut dan reaktif.

### Drama yang Terulang dan Siklus Respons yang Reaktif

Di Sumatera, dalam beberapa hari sebelum laporan ini, “drama” yang sama kembali dipentaskan. Cerita pilu warga yang terpaksa **terjebak di atap rumah** mereka, infrastruktur vital seperti **jembatan yang putus total**, hingga fasilitas publik seperti **sekolah yang hanyut tersapu arus**, menjadi adegan-adegan yang diulang tanpa henti dari tahun ke tahun.

Inti dari kritik ini adalah kecepatan dan tahapan respons pemerintah. Secara umum, negara dan perangkatnya **bergerak secara masif hanya setelah korban jatuh** dan kerugian materiil mencapai puncaknya. Respons ini bersifat **kuratif** (mengobati) dan **reaktif**, bukan **preventif** (mencegah) dan **proaktif**. Seluruh sumber daya dikerahkan untuk evakuasi, penanganan pengungsi, dan distribusi bantuan, yang tentu saja merupakan hal krusial, namun upaya ini terlambat. Kehadiran negara dalam konteks bencana seharusnya diukur bukan dari kecepatan helikopter bantuan tiba, melainkan dari keberhasilan mencegah bencana tersebut menjadi sebuah tragedi yang merenggut nyawa.

### Tuntutan untuk Perubahan Paradigma: Dari Respons ke Resiliensi

Langkah-langkah pencegahan, seperti penegakan tata ruang yang ketat, pembangunan infrastruktur mitigasi yang berkelanjutan (misalnya, sistem peringatan dini yang andal , pembangunan bendungan, dan revitalisasi drainase), serta edukasi publik yang masif tentang kesiapsiagaan bencana, harus menjadi prioritas anggaran dan kebijakan nasional.

Tindakan kolaboratif yang melibatkan akademisi, praktisi, dan tokoh masyarakat—seperti yang disiratkan dalam ajakan Kompas.com untuk menjadi kolumnis—sangat diperlukan. **Kriteria kolumnis** yang mencakup akademisi, profesional, pengamat, ahli, hingga aktivis organisasi nonpemerintah menunjukkan bahwa masalah bencana adalah isu multidimensi yang membutuhkan perspektif dari semua sektor. Negara harus menyerap pengetahuan dari para ahli ini untuk membangun **resiliensi** atau daya tahan komunitas.

Mengakhiri refleksi ini, tragedi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat adalah bel peringatan yang memekakkan telinga. Negara tidak boleh lagi memosisikan bencana sebagai interupsi sesaat dalam pembangunan, tetapi sebagai **variabel tetap** yang harus diinternalisasi dalam setiap perencanaan tata ruang, infrastruktur, dan kebijakan sosial. Hanya dengan perubahan paradigma dari reaktif menjadi proaktif, kehadiran negara dapat benar-benar dirasakan sebagai pelindung nyawa, bukan sekadar penolong setelah nyawa melayang.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *