Connect with us

Education

Kegagalan Sistem Sekolah Jerman Melindungi Anak dari Kekerasan Seksual.

Published

on

Semarang (usmnews) dikutip dari detik.com Sebuah studi mendalam yang dilakukan oleh Komisi Independen untuk Penyelidikan Kekerasan Seksual pada Anak-anak di Jerman telah mengungkapkan data yang sangat mengkhawatirkan dan mengejutkan. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa sistem sekolah di Jerman secara struktural telah gagal dalam menyediakan perlindungan yang memadai bagi siswa dari kejahatan seksual. Temuan paling mencolok dari penelitian ini adalah indikasi bahwa setidaknya satu anak di setiap kelas—yang setara dengan satu dari 25 hingga 30 siswa—pernah mengalami kekerasan seksual. Pelaku kekerasan ini mencakup guru, staf sekolah non-pengajar, maupun teman sekelas. Dampak dari insiden traumatis ini sering kali bersifat serius dan berkepanjangan, memengaruhi kehidupan dan prospek karier korban di masa depan.

Kajian yang mengevaluasi 133 laporan dan kesaksian dari korban yang mengalami kekerasan seksual antara tahun 1949 hingga 2010 ini menunjukkan adanya pola sistemik: siswa yang menjadi korban kekerasan di lingkungan sekolah sering kali gagal mendapatkan perlindungan dari institusi pendidikan itu sendiri. Anggota komisi menegaskan bahwa alih-alih berpihak pada korban, para saksi dan pengurus sekolah sering kali lebih mementingkan yang mereka sebut “solidaritas rekan kerja” atau upaya untuk menjaga reputasi sekolah. Kekerasan kerap diabaikan, atau bahkan ditutup-tutupi, demi citra institusi.

Prioritas Reputasi di Atas Keadilan

Kegagalan sistem ini tercermin jelas dalam pengalaman korban. Hampir 70% dari korban menduga bahwa ada orang lain di sekolah yang mengetahui adanya kekerasan tersebut, namun ketua komisi independen, Julia Gebrande, mencatat bahwa sangat sulit bagi mereka untuk mendapatkan bantuan dan dukungan yang kompeten.

Studi ini menyoroti kasus konkret dari tahun 1990-an di mana seorang guru yang melaporkan rekannya—yang berulang kali masuk ke ruang ganti siswi tanpa izin—justru dituduh bersalah. Alih-alih melakukan penyelidikan terhadap pelaku, guru pelapor justru diinstruksikan untuk meminta maaf dan dituding telah “merusak reputasi sekolah.” Kasus ini menggambarkan taktik umum pelaku kekerasan yang seringkali membangun citra diri sebagai pribadi yang ramah, peduli, dan tak tergantikan, sehingga rekan kerja kesulitan mencurigai atau percaya bahwa mereka mampu melakukan kekerasan.

Dampak pada Korban dan Tanggapan Institusi

Ketika sistem gagal melindungi mereka, para korban terpaksa mencari strategi pertahanan diri sendiri. Studi menemukan bahwa banyak korban memilih untuk bolos sekolah atau bahkan mengulang kelas (tinggal kelas) dengan harapan tidak lagi berada di lingkungan atau kelas yang sama dengan pelaku.

Isu kekerasan seksual di sekolah Jerman baru mendapat perhatian publik yang masif pada tahun 2010, dipicu oleh laporan kasus di Canisius-Kolleg Berlin, yang kemudian memicu ratusan korban dari institusi lain, termasuk skandal besar di sekolah asrama swasta Odenwaldschule. Respon pemerintah adalah pembentukan Komisi Federal Independen pada tahun 2010, dan Komisi Independen untuk Penyelidikan Kekerasan Seksual pada Anak pada tahun 2016.

Meskipun sudah ada langkah-langkah kelembagaan, studi terbaru menunjukkan bahwa masih belum ada struktur yang memadai, baik di sekolah maupun di otoritas pengawas, untuk menangani masalah ini secara komprehensif. Oleh karena itu, komisi merekomendasikan agar penanganan dan pencegahan kekerasan seksual dijadikan elemen kunci dalam pelatihan guru di masa mendatang.

Beban Psikologis dan Masa Depan Legislatif

Masalah lain yang disoroti adalah kesulitan korban untuk memahami dan mengungkapkan pengalaman traumatis mereka. Banyak korban yang tidak memiliki kata-kata untuk menggambarkan pelecehan dan baru menyadari bahwa apa yang mereka alami adalah kekerasan seksual bertahun-tahun kemudian, seperti yang dialami Julia dalam kasus tahun 1970-an.

Kasus Lea pada tahun 1990-an menunjukkan kegagalan institusional yang menyakitkan: ia diberitahu oleh guru yang dipercaya bahwa masalahnya harus diselesaikan sendiri dan konflik tersebut wajar terjadi, terutama di antara anak laki-laki. Lea merasa terabaikan, rentan, dan tak berdaya, dan kegagalan guru bertindak justru memperkuat perilaku pelaku.

Di tengah temuan yang suram ini, ada upaya legislatif. Undang-undang baru untuk melawan kekerasan seksual pada anak mulai berlaku pada Juli tahun ini, mencakup pembentukan dewan penasihat yang terdiri dari para penyintas dan studi tahunan mengenai prevalensi kekerasan. Komisi berharap studi ini dapat mendorong masyarakat untuk merefleksikan kembali sejarah sekolah mereka dan mendengarkan suara korban, mengingat penyelidikan seringkali baru dilakukan setelah korban memberi tekanan melalui media.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *