International
Kebijakan Trump Anti-Palestina: 3 Kontroversial

Jakarta (usmnews) – Kebijakan: Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada masa kepresidenan kedua, memperkenalkan serangkaian langkah kontroversial yang dianggap merugikan rakyat Palestina. Trump mengambil tindakan tegas yang memicu kecaman internasional. Salah satunya, ia secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, menentang tuntutan Palestina yang menghendaki Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan.
Pertama, dalam Proposal Mengambil Alih Gaza, Trump mengusulkan agar AS mengambil alih Jalur Gaza dan memindahkan sekitar 2 juta penduduk Palestina ke negara tetangga. Ia berencana mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah” dan mengancam akan menggunakan kekuatan militer. Kebijakan ini memicu kecaman luas dari komunitas internasional, termasuk Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, yang menyebutnya sebagai bentuk pembersihan etnis terhadap rakyat Palestina.
Selanjutnya, Trump menindaklanjuti dengan tindakan keras terhadap aktivis Palestina. Pada Maret 2025, agen imigrasi AS menangkap Mahmoud Khalil, seorang mahasiswa pascasarjana di Universitas Columbia yang aktif dalam protes pro-Palestina. Tindakan penangkapan itu memicu kecaman dari kelompok hak sipil yang menuduh pemerintah menyerang kebebasan berbicara.
Kemudian, Trump menghentikan bantuan finansial AS untuk Palestina yang sebelumnya mendukung program kemanusiaan dan pembangunan. Langkah ini memperburuk kondisi ekonomi dan sosial di wilayah tersebut serta meningkatkan ketegangan dan penderitaan. Kebijakan penghentian bantuan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen AS terhadap proses perdamaian di Timur Tengah.
Akhirnya, para pengkritik menilai bahwa Kebijakan yang diterapkan Trump mengikis kepercayaan pada upaya perdamaian dan merugikan rakyat Palestina. Transisi langkah-langkah tersebut menunjukkan pemerintah AS harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap stabilitas regional. Dengan demikian, komunitas internasional dan rakyat Palestina menuntut perubahan agar AS mengembalikan komitmennya terhadap perdamaian dan keadilan. Kebijakan kontroversial ini tetap menjadi sorotan, sehingga mengundang perdebatan tentang peran Amerika Serikat dalam konflik Timur Tengah.