Nasional
Keadilan restoratif dalam musibah mushalla Pondok Pesantren Al-Khoziny
Surabaya (usmnews)- Restorative justice atau keadilan restoratif menekankan bahwa penegakan hukum harus menghadirkan kearifan, bukan hanya keadilan. Prof. Mahfud MD menyoroti hal ini lewat media sosial setelah mushalla di Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, runtuh pada 29 September 2025. Mahfud memahami bahwa pesantren biasanya membangun fasilitas secara bertahap karena mengandalkan sumbangan masyarakat.
Pembangunan yang tidak sekaligus membuat perencanaan sering minim, kecuali ada bantuan penuh dari pemerintah. Keadilan restoratif berupaya memulihkan keadaan melalui musyawarah antara pelaku, korban, keluarga, dan masyarakat, bukan sekadar menghukum.
Contohnya, polisi dapat memilih rehabilitasi bagi pengguna narkoba sesuai Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021. Pendekatan ini memulihkan korban dan mencegah kejahatan berulang tanpa mengabaikan proses hukum. Pendekatan hukum yang arif penting bagi masyarakat Indonesia yang majemuk. Prof. M. Mas’ud Said menegaskan bahwa konflik sosial pasti muncul di masyarakat beragam, sehingga hukum harus mengelola perbedaan untuk menjaga kedamaian dan harmoni.
Keadilan restoratif berfokus pada tiga hal: memperbaiki kerugian korban, menuntut tanggung jawab pelaku, dan mencegah kerugian serupa di masa depan. Dalam kepolisian, pendekatan ini sejalan dengan community oriented policing (COP) yang menumbuhkan kepercayaan masyarakat, serta problem oriented policing (POP) yang menjaga stabilitas melalui kerja sama dengan Bhabinkamtibmas.
Mas’ud Said menilai perdamaian hanya bisa tercapai melalui dua cara: penegakan hukum yang adil dan kearifan yang menghormati perbedaan. Namun, masyarakat digital kini lebih mengandalkan logika viral daripada kebijaksanaan. Banyak warganet menilai kebenaran suatu konten berdasarkan seberapa sering mereka membagikannya, bukan berdasarkan fakta yang sebenarnya.
Era digital memudahkan manipulasi foto, video, dan narasi. Gambar yang benar bisa tampak salah jika disertai narasi menyesatkan. Banyak orang tertipu karena percaya pada logika viral tanpa memeriksa konteks.
Karena itu, masyarakat perlu menilai keadilan dan hukum dengan arif, sesuai kondisi lokal dan fakta yang sebenarnya.
Prof. Bagong Suyanto mencontohkan masyarakat Surabaya yang mampu menjaga harmoni antar-etnis, seperti hubungan akrab antara warga Madura dan Tionghoa di Kembang Jepun. Mereka hidup rukun meski berbeda budaya.
Perbedaan seharusnya memperkuat hubungan sosial, bukan memecah belah. Kita tidak perlu menghapus konflik kita cukup mengelolanya secara sehat agar tetap berada dalam batas wajar. Masyarakat perlu menyikapi musibah runtuhnya mushalla Pesantren Al-Khoziny dengan kearifan restoratif untuk mencegah polarisasi. Kearifan tidak berarti mengabaikan keadilan, tetapi melihat perbedaan sebagai peluang memperbaiki keadaan, bukan memperburuknya.