International
Jepang Tertinggal: Kesenjangan Digital

Semarang(Usmnews)-dikutip dari cna.id Jepang, negara yang identik dengan inovasi teknologi seperti robot humanoid dan kereta peluru, ternyata menghadapi paradoks signifikan: di balik citra futuristiknya, negara ini tertinggal dalam transformasi digital. Kesenjangan ini bukan hanya soal citra, tetapi telah menciptakan kerentanan serius di era modern yang serba terkoneksi.Keterlambatan digital ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari dan birokrasi. Hingga Januari lalu, 77 persen sekolah masih mengandalkan mesin faks untuk komunikasi.
Lebih mengejutkan lagi, pemerintah baru benar-benar menghentikan penggunaan disket untuk pengiriman berkas resmi pada pertengahan tahun ini, 14 tahun setelah produksi disket dihentikan.Lambatnya adopsi digital ini membuat Jepang menjadi target empuk serangan siber. Pemerintah melaporkan bahwa serangan siber menghantam negara itu setiap 13 hingga 14 detik. Kelompok peretas seperti MirrorFace asal China, misalnya, telah terungkap menargetkan perusahaan dan instansi pemerintah Jepang sejak 2019, mencuri data keamanan dan teknologi baru. Akibatnya, dalam hal daya saing digital global, Jepang hanya menempati peringkat ke-31 pada tahun 2024.Akar masalah keterlambatan ini bersifat kompleks, melibatkan faktor budaya, demografi, dan struktur korporat.Secara budaya, masyarakat Jepang dinilai cenderung “menghindari ketidakpastian.” Mereka lebih memilih stabilitas sistem lama yang sudah teruji (disebut “sistem warisan”) daripada mengadopsi teknologi baru yang mungkin membawa risiko.

Simbol paling nyata dari hal ini adalah stempel pribadi “hanko,” yang masih diwajibkan untuk berbagai transaksi perbankan, perumahan, dan dokumen perusahaan. Selama pandemi COVID-19, hampir 60 persen pekerja yang seharusnya bekerja dari rumah terpaksa kembali ke kantor hanya untuk membubuhkan stempel pada dokumen.Secara demografi, Jepang memiliki populasi menua, di mana hampir tiga dari sepuluh penduduknya berusia 65 tahun ke atas. Studi menunjukkan bahwa sepertiga warga berusia 50-79 tahun tidak antusias terhadap digitalisasi. Namun, resistensi ini tidak hanya datang dari generasi tua; banyak anak muda juga memilih mengikuti cara kerja lama yang diwariskan secara turun-temurun.Di dunia usaha, Usaha Kecil dan Menengah (UKM)—yang mencakup lebih dari 99 persen perusahaan di Jepang—adalah yang paling lambat bergerak. Banyak dari mereka belum memulai proses digitalisasi atau tidak memiliki tim khusus untuk itu.

Di perusahaan besar, masalahnya sering kali datang dari atas. Eksekutif senior yang gagap teknologi cenderung memaksakan cara kerja lama. Selain itu, budaya kerja yang sangat mengutamakan konsensus memperlambat adopsi teknologi. Sebuah contoh ekstrem mencatat sebuah perusahaan membutuhkan waktu dua minggu untuk menyetujui penggunaan perangkat lunak anti-malware, padahal saat itu mereka sedang mengalami serangan siber.Konsekuensi dari ketertinggalan ini sangat serius.
Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri memperingatkan bahwa Jepang sedang mendekati “jurang digital,” yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga ¥12 triliun (sekitar Rp1,35 triliun) per tahun mulai 2025 jika perusahaan tidak segera bertransformasi.Lebih dari itu, kerentanan siber ini mengancam keamanan nasional. Sebagai sekutu dekat Amerika Serikat, kelemahan pertahanan digital Jepang dapat menjadi titik rawan dalam aliansi. Jika militer AS tidak dapat mempercayai sistem digital Jepang, hal ini dapat membahayakan keamanan regional jika terjadi krisis.Menyadari urgensi ini, pemerintah Jepang mulai bergerak.
Badan Digital dibentuk pada 2021 untuk mendorong transformasi. Baru-baru ini, Undang-Undang Pertahanan Siber Aktif disahkan, yang memberi wewenang kepada militer untuk secara proaktif melumpuhkan server asing yang dianggap bermusuhan. Pemerintah juga berencana menambah personel pertahanan siber dari 890 menjadi 4.000 pada tahun 2028.Meskipun demikian, tantangan terbesar masih ada: kekurangan tenaga ahli.
Jepang diperkirakan akan menghadapi kekurangan lebih dari 545.000 ahli TI pada tahun 2030, sebuah hambatan besar dalam upaya negara itu untuk mengejar ketertinggalan digitalnya.







