Connect with us

International

jepang negara super canggih, tapi mengapa gagap teknologi digital?

Published

on

Tokyo (usmnews) di kutip dari cna Jepang seringkali dipandang sebagai **negara impian futuristik**, sebuah teater di mana inovasi berkuasa. Gambarannya tentang robot-robot canggih, kereta peluru Shinkansen yang membelah kecepatan, hingga toilet otomatis berfitur musik, telah membentuk citra global tentang bangsa yang hidup di masa depan.

Namun, di balik kemilau perangkat keras yang mengagumkan ini, tersembunyi sebuah **kontradiksi mendasar**: meskipun Jepang adalah pemimpin dalam penciptaan teknologi, negara ini tertinggal dalam **pemanfaatan dan integrasi digital** dalam kehidupan sehari-hari dan sistem pemerintahannya.Kesenjangan digital ini bukan hanya masalah ketidaknyamanan, melainkan sebuah **kerentanan serius** di era serba terkoneksi.

Lambatnya transformasi digital telah membuka pintu bagi **ancaman siber** yang semakin gencar. Profesor Motohiro Tsuchiya dari Universitas Keio mengungkapkan sebuah fakta yang mengkhawatirkan: serangan siber menyerbu Jepang rata-rata **setiap 13 hingga 14 detik sekali**.

Serangan-serangan ini bukan sekadar statistik; dampaknya sangat nyata dan melumpuhkan.Sebagai contoh, Badan Kepolisian Nasional Jepang mengungkap operasi kelompok peretas asal China, **MirrorFace**, yang sejak 2019 telah menargetkan setidaknya **210 entitas**, termasuk perusahaan dan lembaga pemerintah, dengan tujuan mencuri data keamanan dan teknologi baru yang sensitif. Gangguan siber juga mengancam infrastruktur vital dan kehidupan publik.

Ingatlah insiden ketika lebih dari 70 penerbangan Japan Airlines tertunda pada Desember tahun lalu, atau ketika operasi **pelabuhan terbesar di Jepang lumpuh total** selama lebih dari 48 jam pada tahun 2023 akibat peretasan sistem.Meskipun banyak negara menghadapi ancaman siber, Jepang lebih rentan karena langkahnya yang terkesan ragu-ragu dalam memajukan digitalisasi.

Bukti ketertinggalan ini tercermin jelas dalam peringkat global; pada tahun 2024, Jepang hanya menempati **peringkat ke-31 dalam daya saing digital global**.### Kesenjangan antara Perangkat Keras dan PemanfaatanMasalah utama Jepang bukanlah kurangnya teknologi, melainkan **ketidakmampuan untuk memanfaatkan sepenuhnya** perangkat keras dan sistem informasi yang sudah ada.

Toshio Nawa, direktur teknologi Nihon Cyber Defence, mencatat bahwa **organisasi setempat masih belum cukup bergantung pada teknologi informasi (TI)**.Sistem dan alat digital modern seringkali dikesampingkan demi kebiasaan lama. Pada Januari lalu, laporan mengejutkan mengungkapkan bahwa **77 persen sekolah masih menggunakan mesin faks** untuk komunikasi, sebuah teknologi yang sudah lama dianggap usang di banyak negara maju.

Survei tahun 2023 bahkan menunjukkan bahwa **40 persen warga Jepang biasa** masih mengaku menggunakan mesin faks.Bahkan dalam urusan birokrasi, proses digitalisasi berjalan sangat lambat.

Baru pada pertengahan tahun 2024 pemerintah Jepang mengambil langkah drastis untuk **menghentikan penggunaan disket** untuk pengiriman berkas—sebuah keputusan yang terlambat **14 tahun** setelah produksi disket dihentikan secara global.

Kotaro Tamura, asisten profesor di Lee Kuan Yew School of Public Policy, merangkum paradoks ini dengan tepat: “Kami pandai merancang dan membangun perangkat keras. Tapi kami **tak pandai memanfaatkan perangkat yang kami punya**.”### Akar Budaya: Menghindar dari Ketidakpastian dan Warisan SistemPandemi COVID-19 seharusnya menjadi katalisator bagi Jepang untuk beranjak dari keterbatasan digitalnya. Sebuah studi tahun 2019 menunjukkan betapa parahnya situasi saat itu: hanya **7,5 persen**

dari hampir 56.000 prosedur administrasi yang sepenuhnya dapat dilakukan secara daring. Meskipun pandemi memaksa perusahaan dan pemerintah untuk mempertimbangkan kerja jarak jauh dan digitalisasi, **transisi ini penuh hambatan**.Simbol paling mencolok dari resistensi modernisasi ini adalah **stempel pribadi “hanko”**.

Benda kecil ini masih menjadi keharusan untuk banyak transaksi perbankan, perumahan, dan dokumen perusahaan. Dampaknya terasa jelas selama pandemi, ketika hampir **60 persen pekerja jarak jauh harus kembali ke kantor** minimal sekali seminggu, hanya demi membubuhkan stempel pada dokumen.

Meskipun pemerintah telah menghapus kewajiban *hanko* dari ribuan prosedur pada tahun 2020, setidaknya **83 prosedur krusial** masih mengharuskannya, menunjukkan betapa kuatnya cengkeraman tradisi ini.Para ahli berpendapat bahwa keengganan untuk berubah ini berakar dalam **budaya Jepang yang cenderung

“menghindari ketidakpastian”**. Memilih sistem lama yang stabil, meskipun tidak efisien, dianggap lebih aman daripada mengambil risiko dengan mengadopsi teknologi baru yang tidak teruji. Nawa menyebut fenomena ini sebagai **”sistem warisan”**—sebuah budaya yang mempertahankan sistem lama untuk jangka waktu yang sangat lama.Faktor **demografi** juga memperburuk masalah ini.

Dengan hampir **tiga dari 10 penduduk Jepang berusia 65 tahun ke atas**, ada resistensi alami dari kelompok usia senior. Sebuah studi tahun 2021 menemukan bahwa hampir **sepertiga warga berusia 50–79 tahun tidak antusias** terhadap digitalisasi.

Yang lebih mengejutkan, fenomena ini tidak hanya terbatas pada generasi tua. Nawa mencatat bahwa banyak anak muda justru memilih untuk **mengikuti cara lama**, demi mematuhi budaya Jepang yang diwariskan.

Cerita penerjemah bernama Yuriko, yang memilih pergi ke kantor distrik karena merasa cara lama itu “sedikit ribet, tapi aman,” menunjukkan bagaimana **persepsi keamanan** mengalahkan efisiensi digital.### Tantangan di Sektor Bisnis dan Keamanan SiberDi sektor bisnis, digitalisasi juga tertatih-tatih, terutama di kalangan **usaha kecil dan menengah (UKM)** yang merupakan lebih dari 99 persen dari total perusahaan di Jepang.

Data dari Japan Institute for Promotion of Digital Economy and Community menunjukkan bahwa hampir **seperempat perusahaan dengan kurang dari 300 karyawan mengaku belum memulai digitalisasi** proses kerja.Kekurangan sumber daya dan prioritas manajemen menjadi penghalang utama.

Menurut buku putih Badan Promosi Teknologi Informasi Jepang tahun 2023, enam dari 10 UKM dengan kurang dari 100 karyawan **tidak memiliki tim khusus** untuk transformasi digital. Lebih lanjut, **separuh perusahaan tidak membahas strategi keamanan siber di tingkat eksekutif**, menunjukkan bahwa banyak manajemen yang tidak merasakan urgensi atau tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang TI. Mereka cenderung lebih memprioritaskan operasional harian, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang lesu.

Jika Jepang terus tertinggal dalam digitalisasi, dampaknya akan meluas: **daya saing global** negara akan terus merosot, **ancaman siber** akan semakin menggerogoti data dan infrastruktur vital, dan **efisiensi birokrasi** akan tetap menjadi momok. Jepang harus mengatasi resistensi budaya dan sistem warisannya untuk benar-benar mewujudkan citra futuristik yang selama ini dipegangnya.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *