Tech

Inovasi Infrastruktur Digital: Tiongkok Meresmikan Pusat Data Bawah Laut Pertama, Saat Project Natick Microsoft Dihentikan

Published

on

Semarang (usmnews) – Dirangkum KompasTekno dari TechRadar Tiongkok telah mencatatkan tonggak sejarah baru dalam inovasi infrastruktur digital global dengan mengumumkan operasionalisasi pusat data (data center) bawah laut komersial pertamanya. Fasilitas ini, yang berlokasi strategis di wilayah pembangkit listrik lepas pantai dekat Shanghai, menandai langkah maju yang signifikan dalam perlombaan teknologi. Pencapaian Tiongkok ini menjadi sorotan utama karena muncul bertepatan dengan laporan bahwa Microsoft, yang sebelumnya memelopori konsep serupa melalui Project Natick, kini justru telah menghentikan inisiatif ambisiusnya tersebut.

Sebagai konteks, Microsoft pertama kali memperkenalkan Project Natick pada tahun 2013 sebagai sebuah inisiatif penelitian yang berani. Puncak eksperimen ini terjadi pada tahun 2018 ketika perusahaan raksasa teknologi asal AS tersebut berhasil menenggelamkan sebuah kapsul berisi 855 server di lepas pantai Skotlandia. Meskipun eksperimen tersebut terbukti sukses sebagai proof-of-concept (bukti konsep) yang menunjukkan kelayakan dan keandalan data center di bawah air, laporan terbaru pada tahun 2024 mengindikasikan bahwa Microsoft telah memutuskan untuk tidak melanjutkan pengembangan Project Natick lebih jauh, mengakhiri inisiatif tersebut setelah berhasil membuktikan teorinya.

Detail Proyek Ambisius Tiongkok

Berbeda dengan Microsoft yang tampaknya berhenti di tahap konsep, proyek di Tiongkok ini langsung menuju operasional skala penuh. Proyek ini dipimpin oleh operator Shanghai Hicloud, yang berkolaborasi erat dengan beberapa perusahaan negara terkemuka, termasuk China Telecom, Shenergy, dan CCCC Third Harbor Engineering. Skala keseriusan proyek ini terlihat dari investasi yang digelontorkan, yang menelan biaya sekitar 226 juta dolar AS.

Keunggulan Efisiensi dan Keberlanjutan

Alasan utama di balik penempatan infrastruktur di bawah laut adalah pencapaian efisiensi energi yang luar biasa. Dengan berada di kedalaman tersebut, pusat data ini memanfaatkan sistem pendinginan alami dari suhu air laut yang rendah secara konstan. Metode ini secara drastis mengurangi energi yang biasanya dibutuhkan oleh sistem pendingin udara (AC) di data center darat, yang merupakan salah satu konsumen listrik terbesar.

Hasilnya, fasilitas ini diklaim mampu mencapai angka Efektivitas Penggunaan Daya (Power Usage Effectiveness/PUE) di bawah 1,15. Angka ini sangat impresif jika dibandingkan dengan rata-rata PUE pusat data konvensional di daratan yang sering kali berkisar antara 1,50 hingga 1,60. Dalam metrik PUE, angka yang semakin mendekati 1,0 menunjukkan efisiensi yang semakin tinggi.

Keberlanjutan adalah pilar utama lainnya dari proyek ini. Pengembang mengklaim bahwa sekitar 95 persen dari total kebutuhan listrik fasilitas akan dipasok langsung oleh pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai yang berlokasi di dekatnya. Model ini secara signifikan menekan kebutuhan akan air tawar—yang sangat boros digunakan oleh menara pendingin data center darat—dan mengurangi ketergantungan pada jaringan listrik utama yang masih banyak mengandalkan bahan bakar fosil.

Kapasitas, Dampak, dan Tantangan Masa Depan

Fasilitas yang baru beroperasi ini merupakan tahap awal dengan kapasitas yang dihasilkan sekitar 2,3 megawatt. Namun, rencana pengembangannya sangat ambisius, dengan target peningkatan kapasitas hingga 24 megawatt di tahap berikutnya.

Mengenai kekhawatiran lingkungan, pengembang Lin-gang telah menegaskan bahwa dampak maritim dan termal (panas) yang dilepaskan ke laut oleh operasional data center ini masih berada dalam batas yang dapat diterima. Meskipun demikian, klaim penting ini masih menunggu hasil verifikasi independen untuk mendapatkan konfirmasi penuh.

Langkah Tiongkok ini menandai sebuah pergeseran penting dalam evolusi desain pusat data global. Ini menunjukkan bagaimana konsep “infrastruktur bawah laut” mulai serius dipertimbangkan untuk menggeser alternatif ruang daratan yang semakin terbatas dan mahal, didorong oleh pencarian efisiensi serta keberlanjutan yang lebih besar.

Meskipun demikian, tantangan besar masih membayangi. Pengembang proyek sendiri mengakui bahwa aspek pemeliharaan setelah perangkat ditenggelamkan ke dasar laut diperkirakan akan jauh lebih rumit, berisiko, dan mahal dibandingkan instalasi di darat. Kemampuan untuk melakukan servis, perbaikan, dan penggantian komponen secara efektif di bawah air tetap menjadi prasyarat krusial yang harus dipecahkan demi menjamin keberlanjutan operasional jangka panjang dari infrastruktur masa depan ini.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version