Business

Gubernur Bimbang, Publik Terbelah: Perlukah Tarif TransJakarta Disentuh Jadi Rp 5.000?

Published

on

Jakarta (usmnews) – Wacana mengenai potensi kenaikan tarif moda transportasi andalan Ibu Kota, TransJakarta, kini telah menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat dan pemangku kebijakan. Usulan untuk menaikkan tarif dari yang saat ini berlaku, yaitu Rp 3.500, menjadi Rp 5.000 per penumpang, didorong oleh alasan mendasar, yakni kebutuhan untuk meningkatkan kualitas layanan dan efisiensi operasional sistem transportasi massal yang sangat vital bagi mobilitas warga Jakarta ini.

Penting untuk dicatat bahwa tarif TransJakarta yang saat ini sebesar Rp 3.500 per penumpang telah berlaku selama kurun waktu yang sangat panjang, yaitu sejak tahun 2005. Kala itu, kenaikan terakhir terjadi dari tarif awal Rp 2.000 menjadi Rp 3.500. Dengan kata lain, selama kurang lebih dua dekade, biaya yang ditanggung penumpang tidak pernah mengalami penyesuaian, meskipun terjadi lonjakan biaya operasional dan inflasi yang signifikan selama periode tersebut. Kondisi inilah yang menjadi salah satu pemicu utama di balik munculnya wacana kenaikan tarif pada tahun 2025 ini.

Seperti halnya setiap kebijakan publik yang menyentuh kantong masyarakat luas, isu kenaikan tarif TransJakarta ini sontak memicu pro dan kontra yang meluas. Masyarakat terbelah dalam menyikapi usulan tersebut, di mana sebagian mendukung kenaikan dengan harapan pelayanan akan meningkat drastis, sementara yang lain merasa keberatan karena khawatir akan menambah beban pengeluaran harian.

Dampak dari perbedaan pendapat yang terjadi di ruang publik ini bahkan diakui secara terbuka oleh Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung. Dalam pernyataannya yang dilansir pada Senin (10/11/2025), Gubernur Pramono mengungkapkan bahwa ia berada dalam posisi bimbang dan harus ekstra hati-hati dalam mengambil keputusan. Beliau menyatakan, “Saya terus terang sejak diwacanakan naik atau nggak memang benar-benar di ruang publik terbelah dan saya selalu terima masukan secara adil dan terbuka di medsos saya.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyadari sepenuhnya sensitivitas isu ini dan sedang berupaya menyeimbangkan antara kebutuhan finansial TransJakarta dan daya beli masyarakat.

Salah satu poin krusial yang sering luput dari perhatian publik adalah besaran nilai subsidi yang saat ini ditanggung oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tarif Rp 3.500 yang dinikmati oleh penumpang bukanlah harga yang sesungguhnya dari layanan tersebut. Direktur Utama PT TransJakarta, Welfizon Yuza, memberikan penjelasan yang gamblang mengenai realitas ekonomi di balik operasional TransJakarta.

Menurut Welfizon Yuza, tanpa adanya suntikan subsidi dari APBD, tarif normal atau tarif keekonomian TransJakarta sebenarnya mencapai angka Rp 13.000 per penumpang. Angka ini menunjukkan adanya kesenjangan yang sangat besar antara tarif yang dibayarkan masyarakat dengan biaya operasional sebenarnya. Lebih lanjut, ia merinci bahwa pada tahun 2024, besaran subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk setiap pelanggan adalah sekitar Rp 9.700.

Meskipun besaran subsidi ini tergolong besar, PT TransJakarta mengklaim telah melakukan upaya efisiensi yang cukup signifikan. Welfizon menyebutkan bahwa nilai subsidi per pelanggan ini telah menunjukkan tren penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu dari Rp 16.000, kemudian turun menjadi Rp 11.400, hingga akhirnya mencapai Rp 9.700 di tahun 2024 (dengan catatan tahun 2022 masih dipengaruhi oleh situasi pandemi COVID-19). Penurunan subsidi per pelanggan ini mengindikasikan adanya perbaikan efisiensi operasional, namun tetap saja, selisih antara tarif keekonomian dan tarif yang dibayarkan publik masih sangat lebar.

Dengan mencuatnya fakta-fakta terkait biaya operasional, subsidi, dan dilema kebijakan yang dihadapi oleh Gubernur DKI Jakarta, artikel ini kemudian menutup dengan mengembalikan pertanyaan krusial tersebut kepada publik, yaitu para pembaca dan pengguna setia layanan TransJakarta.

Inisiatif untuk melibatkan masyarakat ini diwujudkan melalui ajakan untuk berpartisipasi dalam jajak pendapat atau polling di mana para pembaca (disebut sebagai detikers dalam konteks artikel) didorong untuk menyuarakan pendapat mereka. Pertanyaannya sederhana namun mendalam: “Perlukah tarif TransJakarta naik menjadi Rp 5.000?” Di samping jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’, masyarakat juga diminta untuk melampirkan alasan logis dan komprehensif di balik pilihan mereka. Partisipasi publik ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan penting bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengambil keputusan final terkait penyesuaian tarif, demi tercapainya keseimbangan antara keberlanjutan layanan transportasi massal yang prima dan keterjangkauan bagi seluruh lapisan masyarakat Ibu Kota.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version