Business
Fenomena Labubu Meredup, Harta Bos Pop Mart Lenyap Rp 189 Triliun dan Ancaman ‘Bubble’ Tren Sesaat
Semarang (usmnews) – Dikutip dari finance.detik.com Gelombang popularitas boneka Labubu yang sempat mengguncang dunia kolektor mainan dan menciptakan antrean panjang di berbagai negara, kini mulai menunjukkan tanda-tanda surut yang signifikan. Meredanya “hype” global ini ternyata memberikan pukulan telak bagi kondisi finansial Wang Ning, pendiri sekaligus CEO dan Chairman Pop Mart International Group.
Taipan mainan asal Tiongkok tersebut harus menelan pil pahit setelah nilai kekayaannya tergerus secara drastis dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini memicu kekhawatiran di kalangan investor bahwa fenomena Labubu hanyalah tren sesaat (fad) yang tidak berkelanjutan.
Runtuhnya Nilai Kekayaan dan Saham
Berdasarkan data yang dihimpun dari Forbes, Wang Ning sebelumnya sempat menikmati lonjakan kekayaan yang luar biasa saat demam Labubu mencapai puncaknya, dengan total harta mencapai US$ 27,5 miliar (sekitar Rp 461,86 triliun). Namun, seiring dengan memudarnya tren tersebut, ia diperkirakan kehilangan sekitar US$ 11,3 miliar (setara Rp 189,79 triliun). Kini, estimasi kekayaannya menyusut menjadi US$ 16,2 miliar (sekitar Rp 272,09 triliun).
Penurunan kekayaan pribadi ini berbanding lurus dengan kinerja saham perusahaan di pasar modal. Saham Pop Mart mengalami tekanan jual yang masif, anjlok hingga 40% dari harga tertingginya pada bulan Agustus lalu. Nilai saham yang sempat menyentuh HK$ 339,80 kini terperosok ke kisaran HK$ 200. Situasi ini bahkan mengubah peta orang terkaya di China, di mana Jack Ma kembali berhasil menyalip posisi Wang Ning dalam daftar miliarder top negara tersebut.
Analisis Pasar: Mengapa Tren Ini Anjlok?
Jeff Zhang, seorang analis pasar dari Morningstar, memberikan pandangan tajam mengenai situasi ini. Menurutnya, penyebab utama jatuhnya saham Pop Mart adalah melemahnya permintaan domestik di wilayah Tiongkok Raya serta perlambatan pertumbuhan di pasar internasional.
Indikator paling nyata terlihat di pasar sekunder (reseller). Di platform e-commerce populer Tiongkok, Dewu, harga transaksi boneka Labubu terbaru telah turun 30% menjadi sekitar 115 yuan per unit sejak akhir Agustus. Meskipun harga ini masih di atas harga ritel resmi yang dipatok sebesar 79 yuan, tren penurunan ini sangat mengkhawatirkan bagi para spekulan dan kolektor.
Banyak kolektor dan reseller kini mulai menahan diri atau berhenti membeli. Alasannya sederhana: margin keuntungan yang bisa didapatkan dari penjualan kembali (reselling) makin tipis. Ketika motif spekulasi ekonomi menghilang, permintaan buatan yang selama ini menggelembungkan pasar pun ikut kempes.
Tantangan Tahun Baru dan Optimisme Perusahaan
Menatap tahun depan, Pop Mart diprediksi akan menghadapi jalan terjal. Ekspektasi pasar telah dikoreksi secara signifikan. Jika sebelumnya pendapatan perusahaan diramal bisa meroket hingga 200%, kini prediksi pertumbuhan tersebut dipangkas drastis menjadi hanya 30%.
Kendati demikian, manajemen Pop Mart menolak untuk panik. Juru bicara perusahaan menegaskan bahwa fundamental bisnis mereka tetap kokoh. Sebagai bukti, mereka merujuk pada kinerja semester pertama tahun ini yang sangat impresif:
- Pendapatan: Melonjak tiga kali lipat menjadi 13,9 miliar yuan.
- Laba Bersih: Naik fantastis hingga lima kali lipat menyentuh angka 4,6 miliar yuan.
Wang Ning sendiri tetap optimis dengan visi jangka panjangnya. Ia menargetkan perusahaan yang dipimpinnya mampu membukukan penjualan hingga 30 miliar yuan pada tahun 2025, bertaruh bahwa Pop Mart memiliki portofolio kekayaan intelektual (IP) yang cukup kuat untuk bertahan melampaui satu tren boneka saja.