Business
Evaluasi Program Gas Murah Industri: Tantangan dan Dampaknya terhadap Kinerja Industri Pengolahan
JAKARTA (usmnews) – Sudah empat tahun berlalu sejak pemerintah meluncurkan program Gas Murah untuk Industri (HGBT), sebuah inisiatif yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja tujuh subsektor industri pengolahan dengan memberikan stimulus gas murah. Namun, meskipun telah berjalan cukup lama, kinerja industri tersebut masih terhambat.
Tujuh subsektor yang menjadi fokus program HGBT adalah pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Total nilai stimulus HGBT yang dikeluarkan dari tahun 2021 hingga 2023 mencapai Rp51,04 triliun, dengan tujuan menekan harga gas menjadi US$6 per MMBtu, lebih rendah dari harga rata-rata gas di Asia yang mencapai US$9,82 per MMBtu.
Menurut Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Andry Satrio Nugroho, pemerintah perlu melakukan evaluasi ulang terhadap sektor-sektor industri yang memerlukan HGBT untuk memastikan bahwa program ini memberikan nilai tambah secara ekonomi. “Ada sektor-sektor tertentu yang sangat membutuhkan gas dan tidak bisa beralih ke sumber energi lain, dan proporsi pemberian HGBT pada sektor-sektor tersebut perlu ditingkatkan,” ujarnya.
Namun, peningkatan proporsi pemberian gas industri ini dapat mengakibatkan penurunan porsi dari sektor lain yang sudah lebih dulu mendapatkannya. Hal ini memerlukan evaluasi yang cermat terhadap penggunaan HGBT di tujuh subsektor industri.
Meskipun hadirnya HGBT seharusnya dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan produktivitas, kinerja industri pengolahan masih menunjukkan penurunan. Contohnya, PT Arwana Citramulia Tbk. (ARNA), salah satu emiten keramik, mencatat penurunan total beban produksi sebesar 4,11% dari tahun sebelumnya. Hal ini dipengaruhi oleh penurunan penjualan sepanjang tahun 2023, yang turun 5,38% dari tahun sebelumnya.
Situasi serupa juga dialami oleh PT Cahayaputra Asa Keramik Tbk. (CAKK), dengan pendapatan yang turun 16,65% dan mencatat kerugian sebesar Rp34,08 miliar pada tahun 2023. Meskipun berhasil menurunkan harga pokok produksi, kenaikan beban penjualan yang signifikan menggerus kinerja perusahaan.
Melihat kondisi ini, optimisasi penggunaan HGBT perlu diperhatikan dengan lebih serius. Meskipun program ini dapat menekan biaya produksi, perlu waktu untuk melihat dampaknya secara menyeluruh. Evaluasi dan penyesuaian perlu dilakukan secara terus-menerus untuk memastikan bahwa program ini memberikan manfaat maksimal bagi industri pengolahan Indonesia.