Tech

Etika Tak Tertulis di SPKLU: Menjaga Harmoni dan Efisiensi di Tengah Lonjakan Pengguna Mobil Listrik Indonesia​

Published

on

Semarang (usmnews) – Dikutip dari kompas.com Gelombang elektrifikasi kendaraan di Indonesia kini sedang berada pada momentum yang sangat positif. Jalanan di berbagai kota besar semakin sering dihiasi oleh berbagai model mobil listrik, didukung oleh infrastruktur Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang terus bertambah jumlahnya. Namun, pertumbuhan pesat populasi kendaraan listrik ini ternyata membawa tantangan sosial baru. Di balik kecanggihan teknologi hijau ini, muncul keluhan-keluhan di kalangan pengguna terkait perilaku dan etika saat berbagi fasilitas umum tersebut.​

Arwani Hidayat, yang menjabat sebagai Ketua Umum Komunitas Mobil Elektrik Indonesia (Koleksi), menyoroti bahwa masih banyak pemilik mobil listrik yang belum memahami “aturan main” atau etika tidak tertulis saat berada di SPKLU. Hal ini sering memicu ketidaknyamanan, terutama ketika antrean pengisian daya sedang panjang. Arwani menekankan pentingnya kesadaran kolektif dari para pengguna untuk menjaga kelancaran ekosistem kendaraan listrik, dengan fokus pada beberapa poin etika utama.

​Prinsip Efisiensi: Aturan 80 Persen

Poin pertama dan yang paling krusial adalah manajemen waktu pengisian daya. Arwani menyarankan agar pengguna menerapkan prinsip “cukup sampai 80 persen” apabila kondisi SPKLU sedang ramai atau terdapat antrean kendaraan lain. Alasannya bukan hanya soal berbagi, tetapi juga menyangkut teknis pengisian baterai.​

Secara teknis, kecepatan pengisian daya mobil listrik cenderung melambat secara drastis setelah baterai mencapai kapasitas 80 persen. Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi daya dari 80 persen menuju 100 persen bisa memakan waktu 20 hingga 30 menit, durasi yang sebenarnya bisa digunakan oleh mobil lain untuk mendapatkan daya yang cukup. Oleh karena itu, memaksakan pengisian hingga penuh saat ada orang lain yang menunggu dinilai sebagai tindakan yang egois dan tidak efisien. Selain itu, menghentikan pengisian di angka 80 persen juga direkomendasikan untuk menjaga kesehatan dan umur panjang (lifespan) baterai kendaraan. Tentu saja, jika kondisi SPKLU sepi dan tidak ada antrean, mengisi hingga 100 persen diperbolehkan.

​Disiplin Parkir dan Pemanfaatan Teknologi

Masalah kedua yang sering terjadi adalah penyalahgunaan area pengisian. Arwani mengkritik kebiasaan pengguna yang meninggalkan mobilnya begitu saja di charging station meskipun proses pengisian sudah selesai. Sering kali, pemilik mobil beralasan sedang makan atau melakukan aktivitas lain dan pura-pura tidak tahu bahwa baterainya sudah penuh. Padahal, setiap mobil listrik modern sudah terintegrasi dengan aplikasi ponsel yang memberikan notifikasi real-time. Seharusnya, begitu notifikasi penuh muncul, pemilik wajib segera memindahkan kendaraannya agar slot tersebut bisa digunakan oleh orang lain.

​Terakhir, pelanggaran etika yang paling berat adalah menggunakan area SPKLU sekadar sebagai tempat parkir tanpa melakukan pengisian daya sama sekali. Perilaku ini sangat merugikan pengguna lain yang benar-benar membutuhkan daya listrik. Arwani menegaskan bahwa di banyak negara maju, perilaku memblokir akses pengisian daya (ICE-ing) seperti ini sudah dianggap pelanggaran serius dan pelakunya dapat dikenai sanksi denda.

Oleh karena itu, edukasi mengenai etika ini menjadi sangat penting agar transisi menuju kendaraan listrik di Indonesia tidak hanya sukses secara jumlah unit, tetapi juga dewasa dalam perilaku penggunanya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version