Business

Dilema Gerai “Cashless Only”: Menakar Inklusivitas di Tengah Arus Digitalisasi Ekonomi

Published

on

Semarang (usmnews) – Dikutip dari detikfinance, Transformasi digital di sektor retail dan jasa di Indonesia berkembang dengan sangat pesat. Saat ini, semakin banyak gerai makanan, kafe, hingga toko ritel modern yang menerapkan kebijakan pembayaran non-tunai sepenuhnya (cashless).

Meski bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan keamanan transaksi, kebijakan ini memicu perdebatan serius mengenai inklusivitas ekonomi, mengingat belum seluruh lapisan masyarakat Indonesia memiliki akses atau pemahaman yang memadai terhadap teknologi keuangan digital.

Kecepatan Teknologi vs Kesiapan Masyarakat

​Fenomena gerai yang menolak uang tunai seringkali didorong oleh keinginan pemilik usaha untuk mempercepat proses layanan dan mempermudah pembukuan. Dengan menggunakan sistem QRIS, kartu debit, atau dompet digital, pengusaha tidak perlu lagi memikirkan uang kembalian atau risiko menerima uang palsu. Namun, di sisi lain, kebijakan ini menjadi hambatan besar bagi kelompok masyarakat tertentu.

​Faktanya, tingkat literasi digital di Indonesia belum merata. Masih banyak warga lanjut usia (lansia) yang merasa kesulitan mengoperasikan aplikasi pembayaran di ponsel pintar. Selain itu, masyarakat di wilayah pinggiran atau kelompok ekonomi menengah ke bawah sering kali masuk dalam kategori unbanked—mereka yang belum memiliki rekening bank atau akses ke layanan keuangan formal. Bagi mereka, uang tunai adalah satu-satunya instrumen pembayaran yang sah dan paling mudah digunakan.

Aspek Hukum dan Hak Konsumen

​Secara hukum, kebijakan menolak uang tunai sebenarnya bersinggungan dengan regulasi yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, selama Rupiah yang digunakan adalah uang kertas atau logam yang sah, pelaku usaha secara moral dan hukum seharusnya tetap menerima pembayaran tersebut.

​Penolakan terhadap transaksi tunai tidak hanya menciptakan rasa frustrasi bagi pelanggan yang membawa uang fisik, tetapi juga dianggap sebagai bentuk diskriminasi ekonomi terselubung. Konsumen yang memiliki daya beli namun tidak memiliki instrumen digital seolah “terlempar” dari ekosistem ekonomi modern.

Mencari Solusi yang Inklusif

​Digitalisasi memang sebuah keniscayaan, namun transisinya tidak boleh meninggalkan siapa pun. Para ahli ekonomi menyarankan agar pelaku usaha tetap menyediakan opsi pembayaran hibrida. Meskipun mendorong penggunaan non-tunai melalui promo atau diskon, gerai sebaiknya tetap menyediakan jalur khusus untuk pembayaran tunai demi melayani seluruh segmen pelanggan.

​Pemerintah dan lembaga terkait juga perlu terus menggenjot edukasi literasi keuangan digital sembari memastikan bahwa infrastruktur internet merata. Teknologi seharusnya hadir untuk mempermudah segala urusan, bukan justru menjadi dinding pemisah yang menghalangi hak warga negara untuk bertransaksi menggunakan mata uang resminya sendiri.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version