Lifestyle
Di Balik Renyahnya Gingerbread: Menguak Sejarah dan Fakta Unik Ikon Kue Natal
Semarang (usmnews) – Dikutip dari detik.com Suasana Natal rasanya belum lengkap tanpa kehadiran aroma rempah yang hangat dan bentuk-bentuk kue yang menggemaskan. Gingerbread atau kue jahe telah lama menjadi primadona di meja suguhan akhir tahun. Namun, di balik cita rasanya yang manis dan bentuk “orang-orangan” yang ikonik, kue ini menyimpan sejarah panjang dan fakta-fakta mengejutkan yang jarang diketahui banyak orang. Merujuk pada catatan sejarah dari English Heritage, perjalanan gingerbread dari masa ke masa ternyata penuh dengan evolusi resep, tradisi kerajaan, hingga mitos sastra. Berikut adalah ulasan mendalam mengenai lima fakta unik seputar gingerbread:
1. Ironi Resep Tertua: Mewah Tanpa Jahe. Sebuah fakta yang cukup ironis adalah bahwa salah satu resep gingerbread tertua yang ditemukan di Inggris justru sama sekali tidak menggunakan jahe. Padahal, nama kue ini secara harfiah berarti “roti jahe”. Pada masa lampau, resep awal kue ini lebih mengandalkan campuran tepung roti dan madu sebagai bahan dasar. Untuk memberikan rasa yang kuat, adonan tersebut dicampur dengan lada dan kayu manis. Yang lebih menarik, pewarnaan adonan sering kali menggunakan bubuk cendana (sandalwood) untuk menghasilkan rona kemerahan. Penggunaan saffron dalam resep ini juga menjadi sorotan penting. Mengingat harga rempah-rempah yang selangit pada masa itu, menyajikan gingerbread dengan saffron adalah cara tuan rumah menunjukkan status sosial dan kemewahan mereka kepada para tamu.
2. Diplomasi Kue ala Ratu Elizabeth I. Pada era Tudor, fungsi gingerbread melampaui sekadar kudapan penutup. Di zaman Elizabethan, kue ini dipercaya memiliki khasiat medis, yakni untuk membantu proses pencernaan dan menyegarkan napas setelah makan besar. Namun, Ratu Elizabeth I membawa fungsi kue ini ke level yang lebih personal dan politis. Sang Ratu dikenal memiliki kebiasaan unik untuk mengejutkan tamu-tamu kehormatannya. Ia memerintahkan pembuat kuenya untuk mencetak gingerbread menyerupai figur tamu-tamu tersebut. Menyajikan miniatur diri sendiri dalam bentuk kue tak hanya menjadi hiburan istimewa, tetapi juga bentuk penghormatan unik dari seorang Ratu.
3. Metode Belajar “Makan Huruf” bagi Anak-anak. Memasuki abad ke-17, popularitas gingerbread meluas ke kalangan masyarakat umum. Kue ini menjadi jajanan khas yang mudah ditemui di pasar malam atau festival, sehingga dikenal dengan sebutan fairings.Di masa ini, gingerbread juga bertransformasi menjadi alat edukasi yang menyenangkan. Para pengrajin kue sering mencetak adonan dalam bentuk huruf-huruf alfabet. Hal ini menciptakan metode belajar yang sangat efektif bagi anak-anak: mereka ditantang untuk menghafal huruf, dan jika berhasil, mereka diperbolehkan memakan huruf tersebut sebagai hadiahnya. Ini adalah bentuk awal dari edible learning yang memotivasi literasi anak-anak pada zamannya.
4. Tradisi Hangat Keluarga Ratu Victoria. Keluarga Kerajaan Inggris, khususnya di masa Ratu Victoria, memiliki ikatan emosional yang kuat dengan gingerbread. Sejak remaja, Ratu Victoria sangat menggemari kudapan ini. Tercatat dalam sejarah, saat berusia 14 tahun, ia memberikan perlakuan istimewa pada anjing kesayangannya dengan memberikan dua potong gingerbread yang dihias cantik dengan ranting holly dan lilin. Tradisi ini terus hidup hingga ia bertahta. Suaminya, Pangeran Albert, turut melestarikan kehangatan Natal dengan cara yang teatrikal. Ia kerap berpakaian menyerupai Santo Nikolaus (Santa Claus), lalu membagikan gingerbread dan apel kepada anak-anak. Hal ini menegaskan bahwa kue jahe adalah simbol kasih sayang dan kebersamaan keluarga kerajaan.
5. Mitos Rumah Kue Hansel dan Gretel. Banyak orang beranggapan bahwa rumah ikonik dalam dongeng klasik Hansel dan Gretel adalah rumah gingerbread yang dipenuhi permen. Namun, fakta sejarah sastra berkata lain. Dalam versi aslinya, rumah penyihir tersebut sebenarnya dideskripsikan terbuat dari roti biasa, dengan atap yang terbuat dari kue dan jendela dari gula, bukan spesifik gingerbread. Konsep rumah gingerbread sendiri mulai muncul dan populer di Jerman antara abad ke-16 hingga ke-18. Dalam literatur Inggris, deskripsi rinci mengenai rumah kue jahe baru muncul belakangan, salah satunya dalam novel karya Thomas Hardy, Jude the Obscure (1896). Di sana, karakter Jude Fawley digambarkan membuat “Christminster Cakes”—sebuah rumah kue jahe yang rumit, lengkap dengan jendela berukir dan serambi, yang kemudian memperkuat imajinasi publik tentang bentuk rumah gingerbread yang kita kenal sekarang.