Blog
Dekonstruksi Hierarki Sosial: Menilik Perlawanan Kasta dalam Manga “Buddha” Karya Osamu Tezuka
Semarang (usmnews) – Dikutip dari kompassiana.com Manga “Buddha” karya sang legenda, Osamu Tezuka, bukan sekadar biografi visual mengenai perjalanan spiritual Siddhartha Gautama. Lebih dari itu, karya ini merupakan sebuah kritik sosial tajam yang menggugat fondasi sistem kasta yang kaku di India kuno. Melalui narasi yang emosional dan visual yang kuat, Tezuka menggambarkan betapa sistem kasta bukan hanya memisahkan status sosial, tetapi juga merampas martabat kemanusiaan seseorang sejak ia dilahirkan.
Struktur Kasta: Penjara Tak Terlihat
Dalam ulasan tersebut, ditekankan bahwa sistem kasta (Varna) menciptakan stratifikasi yang sangat kejam. Tezuka memperlihatkan kontras yang ekstrem antara kaum Brahmana dan Ksatria yang hidup dalam kemewahan serta otoritas, dengan kaum Sudra serta kelompok Paria (Dalit) yang dianggap “tak tersentuh”.
Sistem ini digambarkan sebagai takdir yang tidak bisa diubah—sebuah “penjara darah” di mana seseorang dihargai bukan karena perbuatan atau kecerdasannya, melainkan karena garis keturunannya. Tezuka menggunakan medium manga untuk menunjukkan betapa absurdnya aturan yang menganggap sentuhan fisik dari kasta rendah dapat “mengotori” kasta yang lebih tinggi.
Representasi Perlawanan Melalui Karakter
Ulasan ini menyoroti bagaimana Tezuka menciptakan karakter-karakter fiksi di samping tokoh sejarah untuk memperkuat pesan antia-kasta:
1. Chapra: Seorang budak yang memiliki ambisi besar untuk mengubah nasibnya. Ia berusaha menyamar menjadi seorang prajurit kasta Ksatria agar mendapatkan kehormatan. Namun, tragisnya, sistem kasta digambarkan sebagai sesuatu yang begitu kuat sehingga usaha Chapra untuk melompati batas sosial berakhir dengan pengorbanan yang memilukan. Kisah Chapra adalah metafora kegagalan sistem yang menolak mobilitas sosial.
2. Tatta: Karakter dari kelompok paria yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan hewan. Melalui Tatta, Tezuka menunjukkan bahwa mereka yang dianggap “paling rendah” oleh masyarakat justru memiliki kedalaman spiritual dan koneksi dengan alam yang jauh lebih murni dibandingkan para elit yang sombong.
Siddhartha: Sang Pemicu Revolusi Spiritual
Puncak dari perlawanan ini tentu saja ada pada karakter Siddhartha Gautama. Sebagai seorang pangeran (Ksatria), ia memiliki semua privilese duniawi. Namun, inti dari pencerahannya adalah penolakan total terhadap sistem kasta.
Siddhartha memilih untuk meninggalkan istana dan hidup di antara mereka yang menderita. Ia mengajarkan bahwa “kebenaran” dan “kesucian” tidak ditentukan oleh kasta, melainkan oleh kemurnian hati dan tindakan. Tindakan Siddhartha merangkul penderitaan kaum Sudra dan Paria adalah bentuk perlawanan paling radikal di zaman itu—sebuah upaya untuk menghancurkan tembok pemisah antarmanusia.
Pesan Universal Tezuka
Melalui ulasan di Kompasiana ini, kita diingatkan bahwa pesan Tezuka dalam manga “Buddha” tetap relevan hingga hari ini. Meskipun sistem kasta kuno mungkin telah banyak berubah, bentuk-bentuk diskriminasi sosial, rasisme, dan stratifikasi ekonomi masih ada di masyarakat modern.
Tezuka mengajak pembaca untuk melihat melampaui label sosial. Ia menekankan bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama untuk mencari kebahagiaan dan pencerahan. Dengan gaya penceritaannya yang khas—memadukan humor, tragedi, dan filsafat—Tezuka berhasil mengubah topik sejarah yang berat menjadi sebuah refleksi kemanusiaan yang menyentuh jiwa.