Nasional
Dari Tanah ke Data: Perampasan Baru di Era Digital

Sejarah (usmnews) di kutip dari kompascom **kapitalisme di Indonesia** adalah sebuah narasi panjang mengenai perebutan dan penguasaan sumber daya. Secara historis, era kolonial ditandai dengan **perampasan tanah dan eksploitasi tenaga kerja** sebagai basis akumulasi modal. Kemudian, pada masa pembangunan Orde Baru, fokus perampasan beralih ke **sumber daya alam** dan pengorganisasian **ruang sosial**. Memasuki abad ke-21, terutama di **era digital** saat ini, kita menyaksikan adanya transformasi mendasar dalam bentuk perampasan tersebut. Sumber daya utama yang kini menjadi rebutan dan diekstraksi adalah **data** dan **algoritma** yang mengendalikannya.
Meskipun sumber dayanya berubah, inti logikanya tetap sama: adanya **pemisahan masyarakat dari kendali atas sumber daya produktif** yang mereka hasilkan. Konsep ini selaras dengan kerangka yang diajukan oleh ekonom politik terkemuka, **David Harvey**, yang menyebut mekanisme ini sebagai _**accumulation by dispossession**_ atau **akumulasi melalui perampasan**. Ini adalah proses krusial dalam kapitalisme di mana aset yang sebelumnya bersifat kolektif atau umum diubah, atau dirampas, menjadi **komoditas privat** demi tujuan utama pertumbuhan dan ekspansi kapital. Jika di masa lalu yang dirampas secara fisik adalah tanah rakyat, kini yang dirampas dan diekstraksi secara virtual adalah jejak digital dan perilaku masyarakat, yakni data.
—
## 💻 Data sebagai Minyak Baru dan Kapitalisme Pengawasan

Dalam ekonomi digital kontemporer, **data telah mengambil peran sentral** yang mirip dengan peran minyak bumi pada era industri. Data kini menjadi bahan bakar utama yang menggerakkan mesin ekonomi digital global. Sosiolog **Shoshana Zuboff** menguraikan fenomena ini secara komprehensif melalui konsep **Kapitalisme Pengawasan** (_The Age of Surveillance Capitalism_). Menurut Zuboff, perusahaan-perusahaan teknologi raksasa mengubah aktivitas dan perilaku manusia sehari-hari menjadi apa yang disebutnya **”surplus perilaku.”** Surplus ini kemudian dimonetisasi melalui kemampuan untuk memprediksi dan, yang lebih meresahkan, memanipulasi perilaku konsumen di masa depan.
Dalam konteks pasar yang sangat besar seperti Indonesia, yang menurut DataReportal (2024) memiliki **lebih dari 213 juta pengguna internet**, masyarakat digital bukan sekadar pasar konsumen pasif. Sebaliknya, mereka adalah **produsen nilai yang tidak disadari** (_unpaid value producers_). Setiap interaksi harian—mulai dari mencari informasi di Google, menggunakan layanan transportasi daring seperti Gojek, berbelanja _online_ di Tokopedia, hingga menghabiskan waktu di platform media sosial seperti TikTok—secara kolektif menghasilkan **jejak digital** yang merupakan komoditas sangat berharga bagi ekonomi platform.
Mirip dengan pola eksploitasi pada fase kolonial, masyarakat berpartisipasi aktif dalam penciptaan nilai, tetapi kendali dan sebagian besar keuntungan dari nilai tersebut **terpusat pada korporasi global** yang memegang kontrol atas algoritma dan infrastruktur server.
—
## 💸 Kapitalisme Platform dan Perampasan Hak-Hak Pekerja
Fenomena sentralisasi ini secara spesifik diidentifikasi oleh **Nick Srnicek** sebagai **Kapitalisme Platform** (_platform capitalism_). Ini adalah fase kapitalisme yang mengandalkan **platform digital** sebagai infrastruktur fundamental untuk seluruh aktivitas ekonomi. Dalam model bisnis ini, pengguna dan pekerja digital seringkali tereduksi menjadi **”produsen tak berbayar”** atau pihak yang menanggung biaya produksi (misalnya, biaya perangkat, koneksi internet, dan waktu), sementara keuntungan finansial yang besar disentralisasi dan dinikmati oleh korporasi platform global.

Manifestasi paling nyata dari logika ini terlihat jelas dalam **_gig economy_** atau ekonomi berbasis pekerjaan lepas. Contohnya adalah pengemudi ojek daring, desainer grafis _freelance_, atau penulis konten. Mereka bekerja di bawah janji **fleksibilitas**, namun pada kenyataannya, mereka sering kali bekerja **tanpa kepastian upah minimum** yang stabil dan **tanpa jaminan sosial** atau perlindungan hak-hak pekerja yang memadai.
Sebuah studi dari Khawarizmi pada tahun 2023 memperkuat temuan ini, menunjukkan bahwa **lebih dari 60% pekerja lepas di Indonesia** menghadapi tantangan berupa persaingan yang ketat, kondisi upah yang rendah, serta keharusan untuk menanggung sendiri biaya operasional dan produksi. Oleh karena itu, fleksibilitas yang digembar-gemborkan sebagai kebebasan justru dapat diinterpretasikan sebagai **bentuk baru perampasan hak-hak dasar** pekerja dalam ranah digital.
—
## 🌐 Kolonialisme Data dan Ketergantungan Struktur Dunia
Dalam analisis sistem dunia yang diajukan oleh sosiolog **Immanuel Wallerstein**, negara-negara seperti Indonesia menempati posisi sebagai **_periphery_** atau pinggiran. Dalam pola lama, negara _periphery_ berfungsi sebagai **pemasok bahan mentah** bagi pusat-pusat kapital global (_core_). Pola struktural ketergantungan ini kini terulang kembali dalam wajah baru **Kolonialisme Data**.
Data dari Indonesia, yang merupakan produk perilaku masyarakatnya, berfungsi sebagai **komoditas mentah** yang diproduksi dalam jumlah masif. Namun, **nilai tambah yang tinggi**—yang diciptakan melalui analisis, prediksi, dan algoritma—dikontrol dan dikuasai sepenuhnya oleh segelintir perusahaan teknologi raksasa global. Hal ini menciptakan bentuk **ketergantungan ekonomi dan teknologi** yang baru, mengukuhkan posisi Indonesia sebagai penyedia sumber daya mentah dalam rantai nilai digital global







