Connect with us

Blog

Dampak Krisis Kesehatan Pasca-Bencana Banjir di Sumatera: Ancaman ISPA dan Penyakit Kulit

Published

on

Semarang (usmnews) – Dikutip dari detik.com, Bencana banjir yang melanda berbagai wilayah di Sumatera tidak hanya meninggalkan kerusakan infrastruktur, tetapi juga memicu krisis kesehatan lingkungan yang serius bagi masyarakat terdampak.

Kondisi pascabanjir yang identik dengan lingkungan yang lembap, sanitas yang buruk, serta keterbatasan air bersih telah menjadi ladang subur bagi penyebaran berbagai penyakit. Situasi ini memaksa pemerintah untuk bergerak cepat dengan menempatkan prioritas layanan kesehatan pada kelompok yang paling rentan, seperti bayi, balita, hingga para lanjut usia (lansia), yang daya tahan tubuhnya cenderung lebih lemah dalam menghadapi kondisi darurat.

Sebagai respons tanggap darurat, ratusan tenaga medis yang terdiri dari dokter dan relawan kesehatan telah dikerahkan ke berbagai titik lokasi bencana. Fokus utama pengerahan tenaga medis ini adalah untuk memperkuat penanganan di lapangan, khususnya di wilayah Aceh yang terdampak cukup parah. Kehadiran mereka sangat krusial mengingat lonjakan kasus penyakit yang mulai menyerang para pengungsi di tenda-tenda penampungan maupun lokasi evakuasi lainnya.

Berdasarkan data resmi yang dihimpun oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI per tanggal 21 Desember 2025, terungkap bahwa Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan penyakit kulit menjadi dua masalah kesehatan utama yang “menghantui” warga di tiga provinsi besar, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Di Provinsi Aceh, data pemantauan dari 25 November hingga 21 Desember 2025 menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. ISPA menduduki peringkat pertama sebagai penyakit yang paling banyak diderita dengan total mencapai 11.168 kasus. Tingginya angka ini kemungkinan besar dipicu oleh kondisi tempat pengungsian yang padat dan sirkulasi udara yang kurang baik. Selain ISPA, penyakit kulit menyusul di urutan kedua dengan 9.610 kasus, diikuti oleh diare sebanyak 1.795 kasus, dan gangguan lambung atau gastritis sebanyak 1.488 kasus.

Bergeser ke Provinsi Sumatera Utara, pola penyakit sedikit berbeda di mana keluhan dermatologis atau penyakit kulit justru menjadi kasus yang paling dominan. Tercatat sebanyak 10.102 warga mengalami masalah kulit, yang umumnya disebabkan oleh kontak berkepanjangan dengan air banjir yang terkontaminasi bakteri dan kotoran. Di posisi kedua, ISPA menjangkiti 8.758 warga, disusul oleh diare dengan 1.703 kasus dan penyakit serupa influenza (Influenza-Like Illness/ILI) sebanyak 971 kasus.

Sementara itu, di Provinsi Sumatera Barat, hingga tanggal 20 Desember 2025, ISPA kembali mendominasi laporan kesehatan dengan angka 8.316 kasus. Namun, yang menarik perhatian di wilayah ini adalah munculnya penyakit tidak menular dalam jumlah signifikan, yakni hipertensi dengan 3.766 kasus. Hal ini mengindikasikan bahwa selain ancaman infeksi, stres dan tekanan akibat bencana juga memicu kenaikan tekanan darah pada para pengungsi. Selain itu, penyakit kulit tercatat sebanyak 2.792 kasus dan gangguan gastritis sebanyak 1.916 kasus.

Secara keseluruhan, laporan ini menegaskan bahwa penanganan pascabencana tidak boleh berhenti pada surutnya air semata. Penanganan medis yang berkelanjutan, perbaikan sanitasi, dan suplai obat-obatan yang memadai sangat diperlukan untuk mencegah wabah penyakit meluas lebih jauh dan memastikan kesehatan para pengungsi dapat pulih kembali.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *