Connect with us

Uncategorized

Bukan Sekadar Nasib: Ketika Rakyat Tidak Hanya Miskin, Tetapi “Dimiskinkan” oleh Sistem

Published

on

Semarang (usmnews) – Dikutip dari kompas.id, Dalam rubrik surat pembaca yang dimuat baru-baru ini, sebuah kritik sosiologis yang tajam dilontarkan terkait fenomena kemiskinan di Indonesia.

Penulis menyoroti perbedaan mendasar antara kondisi “miskin” sebagai sebuah keadaan, dengan “dimiskinkan” sebagai sebuah proses aktif. Sorotan utama tertuju pada kegagalan struktural dan prosedural negara yang, secara sadar atau tidak, justru menjebak warganya dalam lingkaran setan kekurangan ekonomi, alih-alih mengangkat mereka menuju kesejahteraan.

Kegagalan Prosedural Negara

Inti dari argumen yang disampaikan adalah mengenai absennya keadilan prosedural. Kemiskinan sering kali bukan disebabkan oleh kemalasan individu, melainkan karena ketidakmampuan negara atau institusi terkait dalam menempatkan tata laksana kebijakan yang tepat dan rasional. Ketika prosedur birokrasi berbelit-belit, akses terhadap bantuan hukum minim, atau kebijakan ekonomi yang tidak memihak pada rakyat kecil diterapkan, maka negara sejatinya sedang melakukan proses “pemiskinan”.

Penulis menekankan bahwa keadilan bukan hanya soal hasil akhir, tetapi juga soal bagaimana proses itu dijalankan. Jika tata kelola pemerintahan dijalankan tanpa rasionalitas yang berpihak pada kemanusiaan, maka kebijakan tersebut akan menjadi alat penindas yang efektif.

Struktur yang Menjebak Istilah “dimiskinkan” mengandung makna bahwa ada kekuatan eksternal dalam hal ini kebijakan publik yang cacat, yang membuat seseorang kehilangan daya belinya.

Contoh nyata terlihat pada penggusuran tanpa solusi hunian yang layak, pencabutan subsidi yang tidak tepat sasaran, atau regulasi ketenagakerjaan yang mengebiri hak buruh. Dalam konteks ini, warga negara diposisikan sebagai korban dari sistem yang tidak adil. Mereka dimiskinkan oleh keputusan-keputusan di ruang rapat yang jauh dari realitas kehidupan jalanan.

Tuntutan akan Rasionalitas Institusi

Surat ini diakhiri dengan sebuah desakan agar institusi negara segera membenahi kemampuan manajerial dan empatinya. Negara harus mampu merumuskan tata pelaksanaan yang tidak hanya legal secara hukum, tetapi juga bermoral dan logis. Mengentaskan kemiskinan tidak cukup dengan membagikan bantuan sosial (bansos) semata, karena itu hanya obat penenang sesaat.

Langkah yang jauh lebih substansial adalah merombak struktur kebijakan agar tidak ada lagi celah yang memungkinkan warga negara tergelincir menjadi miskin akibat sistem yang mereka tidak bisa lawan. Pembenahan ini mutlak diperlukan untuk mengembalikan fungsi negara sebagai pelindung dan penjamin kesejahteraan, bukan sebagai aktor yang melanggengkan penderitaan rakyatnya.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *