Education
Bukan Sekadar Angka: Perjalanan Panjang Nurul Indarti Menembus Batas Ekspektasi Akademik

Semarang (usmnews) – Dikutip dari kompas.com, Di dunia akademik yang sering kali mengagungkan angka sempurna, kisah Prof. Nurul Indarti hadir sebagai sebuah anomali yang menyejukkan sekaligus menampar realitas.
Baru-baru ini, tepatnya pada Februari 2024, Nurul dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia mencatatkan sejarah sebagai perempuan pertama yang meraih gelar profesor manajemen di UGM.
Namun, di balik jubah kebesaran dan gelar akademik mentereng (Sivilokonom., Cand.Merc., Ph.D.) yang kini menyertai namanya, tersimpan sebuah riwayat yang mungkin bagi sebagian orang dianggap sebagai “cacat” akademik: IPK sarjana yang tidak mencapai angka 3,00.
Kisah ini bermula di pertengahan tahun 90-an, ketika Nurul menempuh pendidikan S1 di Fakultas Ekonomi UGM. Sebagai lulusan SMA jurusan IPA, ia sempat terjebak dalam rasa percaya diri yang keliru, menganggap kuliah di bidang sosial (IPS) akan mudah dilalui.
Realitas berkata lain; ia sempat mendapatkan IPK 2,97 di semester awal. Angka ini, dalam standar kompetisi akademik yang ketat, sering kali menjadi lonceng kematian bagi ambisi seorang mahasiswa. Ayahnya bahkan sempat memberikan teguran keras yang membekas, mempertanyakan masa depannya jika IPK tidak kunjung membaik.
Faktor utama “ketidaksuksesan” akademiknya kala itu bukanlah kurangnya kecerdasan, melainkan prioritas yang terbagi. Nurul sangat aktif sebagai aktivis di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) hingga sering mengabaikan perkuliahan demi kegiatan organisasi sampai pagi buta.

Namun, teguran sang ayah menjadi titik balik. Ia mulai menyeimbangkan aktivisme dengan tanggung jawab akademik, hingga akhirnya lulus dengan predikat cumlaude pada tahun 1998. Meski demikian, bayang-bayang IPK semester awal dan stigma angka “di bawah standar” sempat membuatnya kesulitan menembus beasiswa pascasarjana. Banyak pintu tertutup karena filter administrasi yang kaku.
Namun, Nurul menolak didefinisikan oleh angka masa lalu. Dengan ketekunan luar biasa, sebuah kualitas yang ia sebut lebih penting daripada sekadar bakat atau talent, ia membuktikan diri.
Ia berhasil melanjutkan studi S2 di Norwegia (University of Agder) dan meraih gelar Ph.D. Ia memandang karier akademik bukan sebagai lari cepat (sprint), melainkan maraton yang membutuhkan daya tahan. Filosofi ini membawanya pada puncak karier akademik tertinggi.
Pengukuhannya sebagai Guru Besar bukan hanya kemenangan pribadi, tetapi pesan kuat bagi mahasiswa di seluruh Indonesia. Bahwa IPK hanyalah tiket masuk, namun karakter, resiliensi, dan tekad untuk terus belajarlah yang menentukan seberapa jauh seseorang bisa melangkah.
Kisah Prof. Nurul mengajarkan kita bahwa masa lalu yang tidak sempurna bukanlah vonis mati, melainkan fondasi untuk membangun masa depan yang gemilang jika kita berani untuk tidak menyerah.







