International
Babak Baru Diplomasi Ekonomi: AS Incar Akses Mineral Kritis Indonesia sebagai Timbal Balik Pembebasan Tarif
Semarang (usmnews) – Dikutip dari detik.com, Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, baru-baru ini mengumumkan perkembangan signifikan dalam negosiasi perdagangan dengan Amerika Serikat. Dalam sebuah kesepakatan strategis yang sedang difinalisasi, pemerintahan Presiden Donald Trump menyetujui untuk memberikan “lampu hijau” berupa pengecualian tarif bea masuk terhadap sejumlah komoditas ekspor unggulan Indonesia.
Kebijakan ini menjadi angin segar bagi para pelaku industri tanah air, mengingat sebelumnya terdapat ancaman kebijakan tarif resiprokal yang cukup tinggi, yakni sebesar 19%, yang dapat memukul daya saing produk Indonesia di pasar Amerika. Dengan kesepakatan ini, produk andalan seperti minyak kelapa sawit (crude palm oil), kopi, kakao, hingga teh dipastikan aman dari hambatan tarif tersebut, sehingga dapat terus bersaing secara kompetitif.
Namun, dalam dunia diplomasi ekonomi internasional, tidak ada makan siang gratis. Sebagai timbal balik atas kelonggaran tarif yang diberikan, pihak Amerika Serikat mengajukan permintaan strategis yang cukup spesifik dan krusial. Washington secara tegas meminta jaminan akses terhadap “harta karun” sumber daya alam Indonesia, yakni mineral kritis (critical minerals). Istilah “harta karun” ini merujuk pada kekayaan mineral yang memegang peranan vital dalam menopang perekonomian modern, industri pertahanan, serta keamanan nasional negara adidaya tersebut.
Permintaan AS ini bukan tanpa alasan. Mineral kritis, yang mencakup komoditas seperti nikel, bauksit (aluminium), litium, hingga logam tanah jarang (rare earth elements) saat ini menjadi primadona global karena fungsinya yang tak tergantikan dalam rantai pasok teknologi tinggi, kendaraan listrik, dan semikonduktor.
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM, jenis mineral ini diklasifikasikan sebagai komoditas yang rentan terhadap gangguan pasokan dan belum memiliki pengganti yang layak secara teknis maupun ekonomis. Oleh karena itu, langkah AS untuk mengamankan pasokan dari Indonesia dapat dilihat sebagai upaya strategis mereka untuk mengurangi ketergantungan pada rantai pasok negara lain dan memperkuat ketahanan industri dalam negerinya.
Kesepakatan ini diklaim oleh Airlangga sebagai perjanjian yang bersifat komersial sekaligus strategis, yang dirancang untuk menguntungkan kedua belah pihak secara berimbang (mutually beneficial). Saat ini, negosiasi telah memasuki tahap krusial. Tim teknis dari kedua negara dijadwalkan untuk melakukan pertemuan lanjutan pada minggu kedua Januari 2026, tepatnya antara tanggal 12 hingga 19 Januari. Agenda utamanya adalah melakukan penyelarasan hukum (legal scrubbing) dan perapihan dokumen kesepakatan.
Puncak dari rangkaian negosiasi ini diharapkan akan terjadi sebelum akhir Januari 2026. Pemerintah tengah mempersiapkan sebuah pertemuan tingkat tinggi yang akan mempertemukan Presiden RI Prabowo Subianto dengan Presiden AS Donald Trump. Dalam pertemuan bersejarah tersebut, kedua pemimpin negara direncanakan akan menandatangani secara resmi dokumen Agreement on Reciprocal Trade (ART).
Jika terwujud, penandatanganan ini tidak hanya akan meresmikan pertukaran akses pasar antara komoditas pertanian Indonesia dan mineral strategis untuk AS, tetapi juga menandai era baru kemitraan ekonomi yang lebih erat antara Jakarta dan Washington di tengah dinamika geopolitik global yang terus berubah.