Nasional
Autopsi Psikologis atas “Keheningan Pers”: Refleksi Krisis Demokrasi

Jakarta (usmnews) di kutip dari CNNindonesia **autopsi psikologis dan sosiologis** terhadap fenomena yang disebut **”keheningan pers”** di Indonesia pada tahun 2025. Pemicu utama analisis ini adalah pernyataan kontroversial Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, di tengah acara Fun Run, yang berkeluh kesah bahwa “jurnalisnya mingkem semua” (terdiam) dan secara implisit mengaitkan keheningan ini dengan kesulitan ekonomi yang mungkin dialami pers. Penulis artikel menegaskan bahwa ucapan Purbaya bukanlah sekadar “keseleo lidah” atau lelucon ringan, melainkan sebuah **”Freudian slip”**—sebuah pengakuan bawah sadar yang secara tidak sengaja menyingkap adanya kesenjangan fundamental antara persepsi elite penguasa mengenai kebebasan berpendapat dan realitas praktik pers di lapangan.
Pernyataan ini melahirkan apa yang diistilahkan sebagai **”Demam Purbaya”**: suatu kondisi kebingungan kolektif dalam ranah politik, di mana pihak berkuasa di satu sisi tampak mengharapkan adanya kritik yang konstruktif dan sehat sebagai mekanisme *check and balance*, namun di sisi lain, aparatur negara justru sibuk menerapkan kebijakan atau tindakan yang berujung pada **pembungkaman** atau setidaknya **disinsentif** terhadap kritik yang keras dan tajam. Kondisi paradoks ini menjadi gejala klinis yang mengkhawatirkan dari semakin rapuhnya pondasi demokrasi.
—
### 🎭 Migrasi Kritik ke “Ruang Publik Bayangan”
Diagnosis Purbaya bahwa pers arus utama “mingkem” (diam) dipandang sebagai **kebenaran yang parsial**. Dalam konteks psikologi komunikasi dan teori kekuasaan, **keheningan tidak selalu identik dengan persetujuan** atau ketiadaan masalah. Sebaliknya, diam sering kali merupakan **mekanisme bertahan hidup** *(survival mechanism)* yang dipilih oleh para jurnalis dan media massa ketika mereka dihadapkan pada ancaman eksistensial yang nyata, seperti potensi **kriminalisasi** melalui undang-undang yang represif, atau serangan digital terorganisir seperti **doxing** dan *cyber-bullying*. Naluri reptil, bagian dari sistem saraf yang bertanggung jawab atas respons *fight or flight*, memilih untuk “membeku” atau “bersembunyi” di permukaan agar dapat bertahan hidup.
Namun, kritik yang tidak tersampaikan di panggung utama tidak serta merta hilang. Penulis menggunakan pisau analisis dari **James C. Scott** melalui konsep **Hidden Transcripts** (Transkrip Tersembunyi). Kritik yang dibungkam atau dilarang di **panggung depan** *(public transcript)* yang resmi dan terbuka (seperti editorial koran, *talk show* televisi, atau berita utama) akan segera bermigrasi dan bersirkulasi di **panggung belakang** *(hidden transcript)*.
Di Indonesia tahun 2025, panggung belakang ini termanifestasi sebagai **”Ruang Publik Bayangan”** *(Crypto-publics atau Dark Social)*. Ini adalah tempat di mana diskursus kritis bergeser secara masif dari ruang-ruang publik yang termonitor (seperti media cetak atau portal berita *mainstream*) menuju platform yang lebih tertutup dan terenkripsi.
Ironi yang muncul adalah bahwa Menteri Keuangan, Purbaya, atau elite penguasa lainnya, tidak dapat mendengar kritik bukan karena kritik itu tidak ada, melainkan karena **mereka tidak memiliki akses** atau mekanisme untuk memantau *crypto-publics* ini. Mereka hanya dapat memantau ruang publik formal yang kini telah “disterilkan” dari kritik.
Fenomena migrasi ini menandai **keruntuhan substansial** dari **Teori Ruang Publik Rasional** milik **Jürgen Habermas**, di mana seharusnya publik dapat berdiskusi secara terbuka dan kritis berdasarkan nalar untuk membentuk opini publik yang valid. Ruang publik Habermasian telah digantikan oleh **”Echo Chambers”** yang terfragmentasi, yaitu kelompok-kelompok tertutup yang hanya memperkuat keyakinan internal mereka sendiri.
Konsekuensi dari pergeseran ini sangat serius bagi kualitas demokrasi dan tata kelola negara:

1. **Kehilangan Verifikasi:** Di Ruang Publik Bayangan, kritik yang beredar sering kali **kehilangan standar verifikasi jurnalistik** yang ketat. Opini atau tuduhan yang beredar di sana dapat dengan mudah **berubah menjadi rumor** tak berdasar, desas-desus liar, dan ledakan **kemarahan yang tak terarah** *(unfocused rage)*.
2. **Instabilitas yang Sulit Dipantau:** Upaya negara untuk menciptakan **”stabilitas”** di permukaan dengan membungkam pers arus utama justru secara kontradiktif melahirkan **instabilitas yang lebih dalam** dan **lebih sulit dipantau**. Kritik yang terpendam dapat meletus tanpa peringatan karena berada di luar radar pengawasan pemerintah.
3. **Kebutaan Kebijakan:** Ketika pers arus utama dipaksa untuk berfungsi sebagai **humas (hubungan masyarakat) istana** atau pemerintah, negara **kehilangan cermin yang jujur** untuk melihat realitas dirinya sendiri. Akibatnya, kebijakan-kebijakan strategis—seperti penanganan utang proyek infrastruktur besar (contohnya Whoosh) atau pengalokasian anggaran daerah—dibuat dalam kondisi **”buta terhadap realitas lapangan”** dan berpotensi gagal karena didasarkan pada informasi yang tidak lengkap atau terdistorsi.
Secara keseluruhan, artikel ini menegaskan bahwa “keheningan pers” bukanlah tanda kesehatan atau kepuasan publik, melainkan **gejala penyakit politik dan sosial** yang serius. Keheningan itu adalah **fatamorgana**—sebuah ilusi stabilitas yang menutupi migrasi besar-besaran kritik ke ruang-ruang gelap digital, yang berpotensi menjadi bom waktu sosial dan politik yang menggerogoti efektivitas pemerintahan dan kesehatan demokrasi.







