Anak-anak

“Au Loim Fain”: Suara Visual Anak-Anak Pekerja Migran yang Menggetarkan Surabaya

Published

on

Semarang (usmnews) – Dikutip dari surabaya.kompas.com Kota Surabaya baru-baru ini menjadi tuan rumah bagi sebuah perhelatan seni yang bukan sekadar memanjakan mata, melainkan mengusik nurani. Pameran foto bertajuk “Au Loim Fain” hadir sebagai sebuah jendela transparan yang memperlihatkan realitas kehidupan anak-anak Pekerja Migran Indonesia (PMI). Melalui lensa kamera, pameran ini berusaha memotret sisi lain dari narasi pahlawan devisa yang selama ini sering luput dari perhatian publik: yakni nasib dan perasaan anak-anak yang ditinggalkan di tanah air.

Makna di Balik “Au Loim Fain”

Judul pameran ini, “Au Loim Fain”, diambil dari bahasa daerah (sering kali dikaitkan dengan dialek di Nusa Tenggara Timur) yang memiliki arti mendalam: “Aku Ingin Pulang” atau “Saya Kembali Pulang”. Frasa ini menjadi benang merah yang sangat emosional. Ia mewakili jeritan hati para pekerja migran yang rindu akan rumah, sekaligus harapan anak-anak mereka yang mendambakan kehadiran fisik orang tua di samping mereka, bukan sekadar kiriman uang atau suara di balik telepon genggam.

Narasi Kerinduan dalam Bingkai Foto

Pameran ini menampilkan serangkaian karya yang menggambarkan keseharian anak-anak PMI. Foto-foto tersebut bercerita tentang banyak hal:

Ketidakhadiran yang Nyata: Potret anak-anak yang tumbuh besar di bawah asuhan kakek, nenek, atau kerabat jauh.

Resiliensi di Balik Kesepian: Bagaimana anak-anak ini tetap bersekolah, bermain, dan beraktivitas di tengah kekosongan figur ayah atau ibu.

Dualisme Migrasi: Di satu sisi, migrasi memberikan harapan ekonomi bagi keluarga, namun di sisi lain, ia meninggalkan luka psikologis berupa perpisahan jangka panjang yang sulit terobati.

Karya-karya yang dipajang tidak berusaha mendramatisasi keadaan secara berlebihan, namun kejujuran dalam setiap sudut pengambilan gambar justru memberikan dampak emosional yang kuat bagi para pengunjung di Surabaya.

Fotografi sebagai Medium Advokasi

Lebih dari sekadar pameran seni, “Au Loim Fain” berfungsi sebagai alat advokasi sosial. Melalui visual, penyelenggara ingin menyampaikan bahwa isu pekerja migran bukan hanya soal remitansi atau pengiriman uang ke daerah asal. Ada dimensi kemanusiaan, hak anak, dan kesehatan mental keluarga yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat luas.

Pameran ini menggarisbawahi pentingnya perlindungan terhadap keluarga yang ditinggalkan. Anak-anak pekerja migran sering kali menjadi kelompok yang rentan terhadap putus sekolah atau kurangnya pengawasan. Dengan menghadirkan wajah-wajah mereka di ruang publik Surabaya, pameran ini menuntut perhatian kolektif agar ada sistem pendukung yang lebih baik bagi keluarga PMI.

Respons Publik dan Refleksi Sosial

Kehadiran pameran ini di Surabaya memberikan ruang refleksi bagi warga kota besar. Sering kali, masyarakat hanya melihat pekerja migran sebagai angka statistik dalam laporan ekonomi. Namun, melalui foto-foto ini, pengunjung diingatkan bahwa di balik setiap paspor pekerja migran, ada seorang anak yang menghitung hari menunggu kepulangan orang tuanya.

Diskusi yang berkembang di sekitar pameran ini juga menyentuh aspek sosiologis tentang bagaimana komunitas lokal dapat berperan sebagai “orang tua asuh” kolektif bagi anak-anak tersebut, memastikan mereka mendapatkan cinta dan perhatian yang seharusnya mereka dapatkan dari orang tua kandung mereka.

Kesimpulan

Pameran foto “Au Loim Fain” adalah sebuah pengingat yang kuat bahwa rumah bukan hanya tempat tinggal, melainkan tentang siapa yang ada di dalamnya. Melalui seni fotografi, suara anak-anak pekerja migran yang biasanya sunyi kini terdengar lantang di Surabaya, menuntut kita untuk lebih peduli terhadap dampak sosial dari arus migrasi tenaga kerja.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version