Connect with us

Business

Ancaman Pidana dan Denda Ratusan Juta bagi Penolak Pembayaran Tunai

Published

on

Semarang (usmnews) – Dikutip dari cnnindonesia.com Di tengah gencarnya gelombang digitalisasi sistem pembayaran di Indonesia, pemahaman mengenai kedudukan hukum uang tunai (kartal) menjadi sangat krusial. Masih banyak pelaku usaha yang belum menyadari bahwa menolak pembayaran dengan uang tunai Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan sekadar masalah kebijakan toko, melainkan sebuah tindakan yang memiliki konsekuensi pidana serius.

‎‎Payung Hukum dan Sanksi Pidana‎ Negara telah mengatur kedaulatan Rupiah secara tegas melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam regulasi tersebut, Rupiah ditetapkan sebagai alat pembayaran yang sah dan wajib diterima dalam setiap transaksi ekonomi di dalam negeri.‎‎Pasal 33 ayat (2) dari undang-undang tersebut memberikan peringatan keras: setiap orang dilarang menolak Rupiah yang diserahkan sebagai alat pembayaran yang sah untuk menyelesaikan kewajiban atau transaksi keuangan lainnya. Pelanggaran terhadap ketentuan ini membawa ancaman sanksi yang tidak main-main, yakni pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).‎‎

Satu-satunya pengecualian yang membolehkan seseorang menolak uang Rupiah adalah apabila terdapat keraguan fisik atas keaslian uang tersebut (dugaan uang palsu), sebagaimana diatur dalam Pasal 23. Di luar alasan tersebut, penolakan pembayaran tunai secara sepihak oleh pelaku usaha merupakan pelanggaran hukum.

‎‎Lebih lanjut, Pasal 21 dan Pasal 33 ayat (1) menegaskan kewajiban penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran atau penyelesaian kewajiban uang di wilayah Indonesia. Jika ada pihak yang bertransaksi tidak menggunakan Rupiah (misalnya menggunakan mata uang asing untuk transaksi domestik), ancaman pidananya pun sama: satu tahun penjara atau denda Rp200 juta.

‎‎Namun, undang-undang tetap memberikan ruang pengecualian logis untuk transaksi tertentu, seperti pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), hibah internasional, perdagangan internasional, simpanan bank dalam valuta asing, serta pembiayaan internasional.

‎‎Studi Kasus: Insiden Viral Gerai Roti‎Relevansi undang-undang ini kembali mencuat ke permukaan setelah sebuah insiden viral yang melibatkan jaringan toko roti populer, Roti O. Sebuah video yang beredar luas di media sosial memperlihatkan momen ketika pegawai gerai Roti O menolak pembayaran uang tunai dari seorang pelanggan lanjut usia (nenek).‎‎

Dalam video tersebut, pegawai bersikeras bahwa gerai hanya menerima pembayaran non-tunai (seperti QRIS), yang menyebabkan sang nenek kesulitan untuk membeli roti karena keterbatasan akses teknologi. Insiden ini memicu protes dari seorang pelanggan pria lain yang berada di lokasi, yang menilai kebijakan tersebut tidak inklusif dan menyulitkan masyarakat yang masih bergantung pada uang tunai.‎‎

Respons Korporasi dan Evaluasi Layanan‎Menanggapi kegaduhan publik tersebut, manajemen Roti O segera merilis pernyataan resmi. Melalui akun Instagramnya pada Minggu (21/12), pihak manajemen menyampaikan permintaan maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan serta kegaduhan yang terjadi.‎‎

Dalam klarifikasinya, manajemen menjelaskan bahwa dorongan penggunaan aplikasi dan transaksi non-tunai sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan serta akses terhadap promo dan potongan harga bagi pelanggan setia. Namun, menyadari sentimen publik dan potensi pelanggaran hak konsumen, Roti O berjanji melakukan evaluasi internal. Langkah ini diambil untuk memastikan pelayanan ke depannya menjadi lebih baik dan akomodatif bagi seluruh lapisan pelanggan, tanpa terkecuali.

‎‎Kasus ini menjadi pengingat penting bagi seluruh pelaku usaha di Indonesia: meskipun transformasi digital adalah sebuah keniscayaan, kebijakan perusahaan (SOP) tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, apalagi sampai menghilangkan hak masyarakat untuk bertransaksi menggunakan alat pembayaran yang sah, yaitu uang tunai Rupiah.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *