Connect with us

Nasional

Wacana Redenominasi 2026: Antara Efisiensi Ekonomi dan Tantangan Stabilitas Nilai Tukar

Published

on

Semarang (usmnews) – Dikutip Merdeka.com Wacana untuk menyederhanakan mata uang Rupiah, atau yang dikenal dengan istilah redenominasi, kembali menyeruak ke permukaan. Rencana strategis ini, yang intinya adalah memangkas tiga angka nol di belakang mata uang (misalnya Rp1.000 menjadi Rp1) tanpa mengurangi nilai intrinsiknya, digadang-gadang sebagai langkah modernisasi ekonomi Indonesia. Di tengah diskusi yang memanas, tahun 2026 sering disebut sebagai momentum potensial untuk implementasi kebijakan ini. Namun, pertanyaan besarnya adalah: apakah langkah ini tepat diambil ketika nilai tukar Rupiah sedang menghadapi tekanan volatilitas global?

Esensi dan Tujuan Redenominasi: Pada dasarnya, redenominasi bukanlah pemotongan nilai uang atau sanering yang pernah terjadi di masa lalu. Redenominasi murni merupakan penyederhanaan denominasi mata uang. Tujuan utamanya adalah efisiensi perekonomian. Dengan menghilangkan tiga nol, pencatatan akuntansi dalam laporan keuangan negara maupun korporasi akan menjadi jauh lebih sederhana. Selain itu, digit yang lebih sedikit akan memudahkan transaksi sehari-hari dan meningkatkan kredibilitas Rupiah di mata internasional, menyejajarkannya dengan mata uang global utama yang umumnya memiliki digit efisien.

Target 2026 dan Realitas Ekonomi: Target pelaksanaan di tahun 2026 bukanlah tanpa alasan, namun juga bukan tanpa risiko. Untuk mencapai implementasi penuh pada tahun tersebut, persiapan regulasi melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi harus sudah matang jauh-jauh hari. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) perlu memastikan masa transisi yang cukup, yang biasanya memakan waktu setidaknya 7 tahun, untuk melakukan sosialisasi masif agar tidak terjadi kesalahpahaman di masyarakat.

Namun, tantangan terbesar muncul dari kondisi makroekonomi saat ini. Artikel dan diskusi ekonomi terkini menyoroti bahwa redenominasi menuntut prasyarat mutlak: stabilitas ekonomi. Syarat utamanya adalah tingkat inflasi yang rendah dan terkendali, serta nilai tukar Rupiah yang stabil.

Risiko di Tengah Pelemahan Nilai Tukar: Jika redenominasi dipaksakan saat nilai tukar Rupiah sedang melemah terhadap Dolar AS, risiko psikologis pasar menjadi sangat tinggi. Masyarakat yang panik bisa saja salah mengartikan kebijakan ini sebagai tanda krisis, yang justru memicu penarikan dana besar-besaran atau capital outflow. Selain itu, ada risiko “ilusi harga” di mana pedagang membulatkan harga ke atas (misalnya harga Rp1.500 yang harusnya jadi Rp1,5 dibulatkan jadi Rp2), yang secara tidak langsung justru mengerek inflasi.

Meskipun menyederhanakan Rp1.000 menjadi Rp1 adalah cita-cita efisiensi yang logis dan bermartabat bagi ekonomi Indonesia, pelaksanaannya di tahun 2026 harus dihitung dengan sangat cermat. Pemerintah perlu memastikan bahwa fondasi ekonomi—terutama stabilitas nilai tukar—sudah kokoh sebelum menekan tombol “mulai”. Jika volatilitas pasar masih tinggi, menunda kebijakan mungkin adalah langkah yang lebih bijak daripada mempertaruhkan stabilitas demi sebuah simplifikasi nominal.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *