Connect with us

Nasional

Dilema “Qualified” Gen Z: Antara Gelar, Portofolio, dan Realitas Pasar Kerja yang Absurd

Published

on

Semarang (usmnews) – Dikutip dari Kompas.com, Bagi banyak pencari kerja dari generasi Z, istilah “kualifikasi” sering kali terasa seperti teka-teki yang mustahil untuk dipecahkan. Fenomena ini menciptakan kondisi yang membingungkan: di satu sisi, kandidat dengan banyak pengalaman dianggap overqualified, namun di sisi lain, mereka yang masih dalam tahap belajar dicap underqualified. Paradoks ini semakin diperparah dengan munculnya lowongan kerja tingkat pemula (entry-level) yang secara tidak masuk akal mensyaratkan pengalaman kerja selama dua tahun.

Pergeseran Paradigma: Skill Nyata vs. Gelar Formal

Melalui sudut pandang tiga pemuda dari latar belakang berbeda—multimedia, administrasi, dan kesehatan—terungkap bahwa definisi “layak kerja” telah mengalami pergeseran besar. Muhammad Fawwaz Mumtazy, seorang praktisi multimedia, menekankan bahwa kualifikasi saat ini bukan lagi soal usia atau sekadar deretan gelar di belakang nama. Di industri kreatif, bukti nyata berupa portofolio, kemampuan bercerita (storytelling), dan konsistensi karya jauh lebih bernilai daripada sekadar klaim kemahiran perangkat lunak.

Namun, kecakapan teknis saja tidaklah cukup. Fawwaz menyoroti bahwa sikap kerja (attitude) adalah variabel krusial; banyak kandidat berbakat gagal karena sulit bekerja sama dalam tim. Ia juga mengkritik syarat pengalaman bertahun-tahun untuk posisi pemula sebagai tanda bahwa pihak manajemen sumber daya manusia (HR) sering kali terputus dari realitas talenta muda.

Lingkaran Setan Pengalaman Kerja

Senada dengan hal tersebut, Fajar Ridwan Wijaya melihat adanya “lingkaran setan” dalam proses rekrutmen. Banyak perusahaan yang membuka lowongan magang namun meminta pengalaman sebelumnya, padahal magang seharusnya menjadi wadah untuk mencari pengalaman tersebut. Ridwan berargumen bahwa perusahaan seharusnya mulai mengakui proyek pribadi, kontribusi di komunitas open-source, atau kerja lepas (freelance) sebagai bentuk pengalaman yang sah. Baginya, kualifikasi berarti kesiapan kandidat untuk memberikan kontribusi nyata sejak hari pertama bekerja.

Pentingnya Legalitas dan Transparansi

Di sisi lain, untuk profesi yang bersinggungan dengan keselamatan jiwa seperti tenaga kesehatan, gelar pendidikan formal tetap menjadi syarat mutlak demi legalitas profesi. Arya Fadillah, seorang praktisi kesehatan, menjelaskan bahwa ijazah adalah standar kecakapan dasar. Namun, ia juga menyoroti masalah lain yang sering dikeluhkan Gen Z: minimnya transparansi rekrutmen. Proses seleksi yang tertutup dan kriteria penilaian yang tidak jelas membuat pelamar merasa tidak adil.

Kesimpulan: Mencari Titik Temu

Dapat disimpulkan bahwa Gen Z sebenarnya tidak memusuhi gelar atau pendidikan formal. Yang mereka tuntut adalah kejelasan dan keadilan. Mereka menginginkan sistem rekrutmen yang memiliki tolok ukur yang masuk akal, seperti metode trial teaching atau penggunaan matriks penilaian yang objektif ketimbang hanya mengandalkan insting pewawancara.

Dunia kerja hari ini memiliki tugas besar: bukan hanya menilai apakah Gen Z sudah “qualified”, tetapi juga belajar memahami dinamika dan potensi nyata yang mereka bawa. Kualifikasi pada akhirnya adalah tentang kecocokan antara kebutuhan perusahaan dengan kemampuan nyata yang dimiliki oleh pelamar, dibungkus dalam sistem yang adil dan transparan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *