Connect with us

Anak-anak

Risiko Tersembunyi di Balik Ambisi Menyekolahkan Anak Terlalu Dini

Published

on

Semarang (usmnews) – Dikutip dari tempo.com, Keputusan menyekolahkan anak sering kali dianggap sebagai tonggak kemajuan tumbuh kembang seiring bertambahnya usia.

Banyak orang tua merasa bangga jika anaknya bisa masuk sekolah lebih awal, namun Hesti Lestari dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengingatkan bahwa ada satu aspek krusial yang kerap terabaikan: kesiapan internal anak itu sendiri.

Memasukkan anak ke sekolah formal sebelum mereka benar-benar siap baik secara mental maupun kognitif, bukanlah jalan pintas menuju kesuksesan, melainkan bisa menjadi bumerang yang merusak sikap, emosi, dan relasi anak terhadap dunia pendidikan dalam jangka panjang.

Dampak Psikologis dan Penolakan Terhadap Sekolah Konsekuensi paling nyata dari pemaksaan ini adalah munculnya resistensi atau penolakan dari anak. Sekolah yang seharusnya menjadi ruang eksplorasi yang menyenangkan berubah menjadi sumber tekanan yang menakutkan.

Anak yang belum siap sering kali menunjukkan tanda-tanda penolakan halus seperti sering mengeluh sakit fisik tanpa sebab jelas, menangis histeris sebelum berangkat, atau kehilangan minat total terhadap aktivitas belajar. Dalam kondisi mental yang tertekan seperti ini, anak tidak lagi melihat belajar sebagai sebuah kegembiraan, melainkan beban berat yang melelahkan jiwa mereka.

Ketertinggalan Akademik dan Sosial Lebih jauh, ketidaksiapan ini bermanifestasi pada kesulitan mengikuti ritme pelajaran di kelas. Anak-anak yang aspek sosial-emosional, fisik-motorik, serta kemampuan bahasanya belum matang akan kesulitan memahami instruksi guru atau mengatur fokus mereka. Akibatnya, mereka sering kali tertinggal dari teman-teman sebayanya.

Perasaan “selalu tertinggal” ini berbahaya karena dapat mengikis rasa percaya diri. Anak yang merasa tidak mampu cenderung menarik diri dari pergaulan, enggan bertanya, dan bahkan menghindari interaksi sosial. Hesti menekankan bahwa perilaku seperti kurang fokus, hiperaktif, atau malas sering kali bukan tanda anak kurang cerdas, melainkan sinyal bahwa kognisi dan emosi mereka belum siap menerima beban sekolah formal.

Pentingnya Fondasi Pengasuhan di Rumah Kesiapan sekolah bukanlah sesuatu yang terjadi secara instan saat anak mencapai usia tertentu, melainkan hasil dari proses pengasuhan yang konsisten di rumah. Hesti menyarankan orang tua untuk menerapkan pola asuh “5R” sebagai fondasi:

  • Reading: Membacakan buku rutin untuk melatih fokus dan kosakata.
  • Rhyming: Bermain rima dan lagu untuk mengasah kepekaan bahasa.
  • Routines: Menciptakan jadwal harian yang konsisten (makan, tidur, main) untuk memberi rasa aman dan struktur.
  • Rewarding: Memberikan apresiasi (bukan hanya materi) atas usaha anak untuk membangun kepercayaan diri.
  • Relations: Membangun hubungan emosional yang hangat agar anak merasa aman saat menghadapi tantangan baru.

Kesimpulannya, memaksakan anak masuk sekolah sebelum waktunya berisiko menanamkan persepsi negatif permanen terhadap belajar. Orang tua perlu mengubah pola pikir bahwa kesiapan sekolah adalah sebuah proses pematangan yang harus didukung dengan sabar, bukan sekadar target usia yang harus dicapai demi gengsi sosial. Fondasi yang kuat di masa awal jauh lebih berharga daripada kecepatan memulai sekolah.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *