Connect with us

Blog

Jeritan Hati Korban Banjir Bandang: Rumah Rata dengan Tanah, Masa Depan Tak Tentu Arah

Published

on

Semarang (usmnews) – Dikutip dari KOMPAS.com, Di tengah puing-puing kehancuran yang ditinggalkan oleh bencana banjir bandang di Aceh Utara, terdengar jeritan lirih dari para penyintas yang kini hidup dalam ketidakpastian.

Sebuah pertanyaan menyayat hati terlontar dari bibir Hasanuddin, salah satu warga yang terdampak, ditujukan langsung kepada pemimpin negeri ini: “Rumah hancur, tenda keluarga yang bagus tidak punya. Ke mana kami akan pulang setelah ini, Pak Presiden?” Pertanyaan retoris ini bukan sekadar keluhan, melainkan representasi dari keputusasaan ratusan keluarga yang kehilangan tempat bernaung dalam sekejap mata.

Desa Bungkah, yang dulunya merupakan perkampungan yang hidup, kini telah berubah wajah menjadi hamparan lumpur setinggi satu hingga dua meter. Bencana banjir bandang yang menerjang tidak hanya merusak harta benda, tetapi menyapu bersih tempat tinggal mereka hingga rata dengan tanah.

Berdasarkan data yang dihimpun, sebanyak 120 kepala keluarga di desa ini harus menelan pil pahit kehilangan rumah mereka sepenuhnya. Tidak ada lagi atap untuk berteduh, tidak ada lagi dinding untuk berlindung dari angin malam; yang tersisa hanyalah lumpur pekat yang menimbun kenangan masa lalu.

Saat ini, pusat kehidupan para penyintas berpusat di sekitar meunasah bangunan surau khas Aceh berbentuk panggung yang tersisa. Di kolong-kolong bangunan inilah warga mencoba bertahan hidup. Namun, kondisi di pengungsian darurat ini jauh dari kata layak.

Hasanuddin mengungkapkan betapa menusuknya hawa dingin saat malam tiba, sementara perlengkapan dasar seperti selimut dan kelambu sangat minim. Tenda-tenda keluarga yang layak huni pun belum mereka miliki, membuat mereka rentan terhadap penyakit dan cuaca ekstrem.

“Kami butuh selimut, malam dingin sekali. Tenda sangat perlu, kelambu juga,” ujarnya dengan penuh harap. Obat-obatan juga menjadi kebutuhan mendesak yang sangat dinantikan.

Kecemasan terbesar warga bukan hanya tentang hari ini, tetapi tentang hari esok. Meski pasokan pangan untuk masa tanggap darurat tiga minggu ini dirasa mencukupi berkat banyaknya bantuan yang mengalir, bayang-bayang masa depan menghantui mereka. Hasanuddin dan warga lainnya bingung memikirkan nasib mereka ketika masa tanggap darurat berakhir dan pemerintah beralih ke fase rehabilitasi.

Ke mana mereka harus kembali jika rumah mereka sudah tiada? Bahkan bagi mereka yang rumahnya dikategorikan “rusak ringan” (sebanyak 350 unit), kondisinya pun memprihatinkan karena penuh sesak oleh lumpur tebal yang sulit dibersihkan tanpa alat berat. “Ke mana lumpur satu kampung ini akan dibuang?” keluh Hasanuddin, menggambarkan betapa masifnya kerusakan yang terjadi.

Secara keseluruhan, dampak bencana di wilayah ini sangatlah dahsyat. Selain 120 keluarga yang kehilangan tempat tinggal dan 110 rumah yang hancur total, desa ini juga mencatat korban jiwa sebanyak 21 orang. Harta benda mereka telah lenyap tak berbekas.

Di tengah situasi yang serba sulit ini, mereka hanya bisa menggantungkan harapan pada uluran tangan pemerintah dan kepedulian sesama. Seruan mereka kepada “Pak Presiden” adalah panggilan darurat kemanusiaan, meminta jaminan bahwa setelah masa tanggap darurat usai, mereka tidak akan ditinggalkan begitu saja tanpa rumah dan tanpa arah tujuan untuk pulang.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *