Blog
Eskalasi Ketegangan Media dan Politik: Trump Tuntut BBC Rp 166 Triliun atas Tuduhan Pencemaran Nama Baik

Semarang (usmnews) – Dikutip dari 20.detik.com Dunia politik dan media internasional kembali diguncang oleh langkah hukum agresif dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Dalam sebuah perkembangan terbaru yang menyita perhatian publik global, Trump secara resmi melayangkan gugatan pencemaran nama baik terhadap raksasa media Inggris, British Broadcasting Corporation (BBC). Nilai tuntutan yang diajukan pun sangat fantastis, yakni mencapai USD 10 miliar atau setara dengan sekitar Rp 166 triliun. Angka ini mencerminkan betapa seriusnya pihak Trump memandang dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran tersebut.
Inti dari perselisihan hukum ini bermula dari sebuah tayangan video yang diproduksi dan disiarkan oleh BBC. Tim hukum Trump menuduh bahwa BBC telah melakukan penyuntingan video yang tendensius dan menyesatkan. Materi visual tersebut dinilai telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga menciptakan narasi palsu yang menggambarkan seolah-olah Trump secara aktif menghasut massa untuk menyerbu Gedung Capitol. Tuduhan ini sangat sensitif mengingat peristiwa penyerbuan Capitol merupakan salah satu momen paling kelam dan kontroversial dalam sejarah politik modern Amerika Serikat, dan mengaitkan Trump secara langsung dengan hasutan kekerasan dianggap sebagai serangan serius terhadap reputasi dan integritas kepresidenannya.

Menariknya, dalam respons awal terhadap kontroversi ini, pihak BBC dikabarkan telah mengeluarkan permintaan maaf. Lembaga penyiaran tersebut mengakui adanya kesalahan dalam proses penyuntingan yang secara tidak sengaja memberikan kesan yang salah, seolah-olah ada seruan eksplisit untuk melakukan tindakan kekerasan. Pengakuan ini tentu menjadi poin krusial dalam gugatan, di mana pihak penggugat dapat menggunakannya sebagai bukti validasi atas klaim kerugian reputasi yang mereka derita. Namun, permintaan maaf tersebut tampaknya belum cukup untuk meredam kemarahan pihak Trump yang memilih untuk tetap menempuh jalur hukum dengan tuntutan ganti rugi yang monumental.

Kasus ini tidak hanya sekadar pertarungan hukum antara seorang pemimpin negara adidaya dan sebuah institusi media ternama, tetapi juga membuka kembali diskursus mengenai etika jurnalisme, batasan penyuntingan editorial, dan dampak media terhadap persepsi publik. Langkah Trump ini juga dapat dilihat sebagai bagian dari strategi yang lebih luas dalam melawan narasi media yang dianggapnya bias atau memusuhi agenda politiknya, sebuah tema yang konsisten ia suarakan sepanjang karier politiknya. Publik kini menanti bagaimana proses hukum ini akan bergulir dan implikasi apa yang akan ditimbulkannya bagi hubungan antara kekuasaan eksekutif dan kebebasan pers di masa depan.







