Connect with us

International

Eks Panglima militer inggris: ukraina tak akan menang perang melawan rusia

Published

on

LONDON (usmnews) di kutip dari Sindonews Mantan Kepala Staf Pertahanan Inggris, Field Marshal Lord David Richards, mengeluarkan peringatan tegas dan blak-blakan mengenai prospek perang yang sedang berlangsung di Ukraina. Dalam analisisnya, perwira militer senior dengan pangkat “bintang lima” ini—yang juga pernah memimpin pasukan NATO di Afghanistan—menyatakan bahwa Ukraina tidak akan mampu memenangkan perang melawan Rusia dan oleh karena itu, harus didorong untuk merundingkan persyaratan perdamaian dengan Moskow.

Pernyataan Richards, yang disampaikan dalam podcast “World of Trouble” oleh The Independent dan dipublikasikan pada Senin, 20 Oktober 2025, menyoroti jurang pemisah yang lebar antara dukungan Barat saat ini dengan kebutuhan nyata Kyiv untuk mencapai kemenangan. Dia berpendapat bahwa sekutu Ukraina telah bersalah karena memberi harapan yang salah.

“Apa yang telah kami lakukan dalam kasus Ukraina adalah mendorong Ukraina untuk berperang, tetapi tidak memberi mereka sarana untuk menang,” ujar Richards.

Inti dari argumen Field Marshal Richards terletak pada keyakinan bahwa Ukraina tidak dapat mengusir pasukan Presiden Vladimir Putin dari wilayahnya tanpa keterlibatan langsung pasukan NATO di lapangan. Namun, dia secara eksplisit mencatat bahwa intervensi langsung NATO adalah skenario yang sangat tidak mungkin terjadi, karena perang tersebut tidak dianggap sebagai masalah kepentingan vital atau eksistensial bagi negara-negara Barat.

Kekurangan Tenaga sebagai Kendala Utama

Ketika didesak untuk menguraikan lebih lanjut mengenai pandangannya, Richards memperkuat posisinya dengan menunjuk pada masalah kekurangan tenaga (manpower) yang kronis sebagai hambatan yang tidak dapat diatasi bagi Ukraina.

Bahkan jika negara-negara Barat menyediakan semua sumber daya militer yang diperlukan—mulai dari senjata hingga amunisi—perwira militer Inggris tersebut menegaskan bahwa Ukraina tetap tidak akan menang.

“Menurut saya mereka tidak akan menang,” katanya. Kemudian, ditanya apakah kemenangan tidak mungkin diraih “bahkan dengan sumber daya yang tepat,” Richards menjawab singkat dan jelas: “Tidak.” Dia melanjutkan dengan menjelaskan, “Tidak, mereka tidak punya tenaga.”

Komentar ini menunjukkan perspektif realistis militer yang menghitung kemampuan berkelanjutan dalam perang gesekan. Rusia, dengan populasi yang jauh lebih besar, memiliki kapasitas untuk menyerap kerugian tempur dan memobilisasi lebih banyak tentara dibandingkan Ukraina. Bagi Richards, realitas demografis ini lebih menentukan daripada sekadar volume bantuan militer.

Dinamika Diplomatik di Washington

Waktu munculnya pernyataan Richards ini bertepatan dengan upaya diplomatik penting yang dilakukan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Washington DC. Zelensky terbang ke ibu kota Amerika Serikat untuk bertemu dengan Presiden Donald Trump dengan harapan dapat meyakinkan Gedung Putih agar mengirimkan rudal jelajah Tomahawk ke Ukraina. Rudal Tomahawk, yang dikenal karena jangkauan dan akurasinya, dianggap sebagai aset strategis yang sangat didambakan oleh Kyiv untuk menyerang target-target penting Rusia.

Namun, laporan tersebut menunjukkan adanya hambatan diplomatik yang tidak terduga. Beberapa jam sebelum pertemuan Zelensky di Gedung Putih, Presiden Trump diketahui telah berbicara dengan Presiden Putin. Hal ini tampaknya menciptakan keragu-raguan dalam sikap Trump. Dalam konferensi pers, Presiden AS tersebut menunjukkan sikap yang ramah terhadap Zelensky, tetapi tetap tampak enggan untuk menyerahkan rudal Tomahawk, menggarisbawahi perlunya negaranya sendiri untuk mempertahankan persediaan misil tersebut.

Perkembangan di Washington ini semakin memperkuat kekhawatiran yang diungkapkan oleh Richards. Jika bahkan di tengah upaya diplomatik tingkat tinggi pun Ukraina gagal mendapatkan sistem senjata krusial yang mereka butuhkan, maka prospek kemenangan militer untuk mengusir seluruh pasukan Rusia menjadi semakin tipis.

Desakan Menuju Negosiasi

Pada akhirnya, penilaian Field Marshal Richards adalah desakan untuk kembali ke meja perundingan. Setelah lebih dari tiga tahun konflik yang ditandai dengan keuntungan teritorial bergantian dan perang drone yang intens, ia melihat negosiasi sebagai satu-satunya jalur yang realistis untuk mengakhiri pertumpahan darah dan mencegah konflik terus berlarut-larut. Pandangannya ini sejalan dengan pendapat yang disuarakan oleh beberapa tokoh militer senior lainnya di Barat yang berargumen bahwa semua perang pada akhirnya berakhir melalui cara diplomatik.

Dengan tidak adanya intervensi NATO langsung dan dengan realitas kekurangan tenaga yang terus menghantui, Richards menyimpulkan bahwa meneruskan pertempuran dengan tujuan kemenangan total hanya akan memperpanjang penderitaan. Oleh karena itu, bagi mantan Kepala Staf Pertahanan Inggris ini, Kyiv harus mencari kompromi damai yang mungkin melibatkan pengakuan realitas teritorial tertentu di lapangan untuk menukar “perdamaian untuk tanah” (peace for land).

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *