Nasional
keluhan anak muda dan sistem yang tak adil

BEBERAPA (usmnews) di kutip dari kompas.com ## Kritik Terhadap Keluhan Gen Z: Pandangan yang Mengabaikan Realitas StrukturalDalam beberapa hari terakhir, ranah publik di media sosial dihebohkan oleh pernyataan kontroversial dari **Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto**. Menteri menyoroti apa yang ia anggap sebagai kecenderungan **generasi muda Indonesia** untuk **mudah menyerah dan gemar mengeluh** di platform daring.
Pernyataan ini disampaikan pada sebuah acara motivasi di Sekolah Unggulan MH Thamrin, Cipayung, Jakarta Timur, pada hari Rabu, 8 Oktober 2025.Menteri Yuliarto secara spesifik membandingkan Gen Z dengan generasinya, yang menurutnya lebih **tangguh** karena telah “berjuang keras mencari beasiswa dan kuliah di luar negeri.” Ia berargumen bahwa ketimbang bekerja keras menghadapi tantangan, Gen Z cenderung memilih untuk mengeluh di media sosial.
Sekilas, kritik semacam ini mungkin terdengar positif, seolah-olah berfungsi sebagai dorongan untuk memupuk etos kerja yang kuat dan semangat pantang menyerah. Namun, artikel ini berpendapat bahwa di balik retorika yang tampak membangun itu, tersimpan sebuah **pandangan yang bermasalah dan mereduksi masalah**.
Pandangan tersebut adalah gagasan bahwa **keberhasilan atau kemiskinan seseorang hanyalah urusan mentalitas pribadi**—sebuah keyakinan yang menempatkan kegagalan semata-mata pada individu.

—## Kemiskinan Bukan Aib Pribadi, Tapi Gejala Sistem yang GagalInti dari argumen dalam artikel ini adalah bahwa pandangan yang berfokus pada kelemahan moral atau mentalitas individu **menutupi kenyataan** yang lebih besar dan lebih serius: **ketimpangan sosial dan kemiskinan tidak lahir dari kekurangan moral, melainkan dari struktur ekonomi dan kebijakan publik yang secara inheren timpang.
**Narasi yang menghubungkan “kemiskinan dengan kemalasan” telah lama mengakar dalam imajinasi pembangunan bangsa. Ini adalah **alat yang ampuh** yang secara efektif membebaskan nurani kelas menengah dan elite politik. Dengan menunjuk kemiskinan sebagai **kesalahan individu**, sistem yang ada terhindar dari tanggung jawab atas kegagalannya.
Padahal, jika kita melihat melampaui statistik ekonomi yang kering, kita akan menemukan jutaan warga negara yang **bekerja keras setiap hari**, namun ironisnya, **tetap terperangkap dalam lingkaran kemiskinan**. Mereka bukanlah individu yang tidak berjuang; mereka adalah orang-orang yang berjuang keras **di dalam sebuah sistem yang pada dasarnya tidak memberi mereka ruang yang memadai untuk menang**.
Dalam konteks ekonomi yang menindas, **kerja keras justru seringkali hanya menjadi prasyarat untuk bertahan hidup**, bukan jalan menuju kemajuan.Oleh karena itu, kemiskinan harus dilihat bukan sebagai aib atau cacat pribadi, melainkan sebagai **gejala yang menunjukkan adanya tata kelola sumber daya dan kekuasaan yang sangat tidak adil**.
Ketidakadilan struktural ini termanifestasi dalam berbagai ruang, yang digambarkan oleh tiga kelompok utama: **nelayan, petani, dan generasi muda pekerja** di perkotaan dan sekitarnya. Ketiga kelompok ini menghadapi situasi di mana kerja keras saja, betapapun gigihnya, tidak lagi cukup untuk menjamin kehidupan yang layak.—## Paradoks Pembangunan: Kasus Nelayan di Negara MaritimKasus **nelayan** menjadi contoh paling ironis dan tragis dari **paradoks pembangunan** di Indonesia.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia seharusnya mensejahterakan masyarakat pesisirnya. Namun, ironisnya, masyarakat pesisir justru tercatat sebagai **kelompok paling miskin**.Nelayan bangun sebelum fajar, melaut berhari-hari, bahkan terkadang berbulan-bulan, menunjukkan etos kerja yang tak terbantahkan. Namun, kini mereka menghadapi realitas yang suram: **laut yang dulu memberi kehidupan kini kian “sakit”**.
Sejak era kolonial, sumber daya laut telah dieksploitasi secara berlebihan tanpa adanya upaya pemulihan yang memadai.Kondisi ini diperburuk oleh beberapa faktor:
1. **Penurunan Hasil Tangkapan:** Terjadi penurunan drastis akibat *overfishing* (penangkapan ikan berlebihan), pencemaran industri, dan kebijakan yang seringkali **lebih memihak kapal-kapal besar dan perusahaan eksportir** dibandingkan nelayan tradisional skala kecil.
2. **Kesenjangan Biaya dan Harga:** Biaya operasional nelayan terus meningkat—mulai dari harga bahan bakar, es untuk pengawetan, peralatan, hingga logistik.
Di sisi lain, **harga jual ikan di tingkat nelayan justru cenderung stagnan** atau bahkan tertekan.Kondisi ini menciptakan apa yang disebut sebagai **lingkaran kemiskinan ekologis**.
Lingkaran ini menjelaskan bagaimana kerusakan lingkungan secara langsung memiskinkan masyarakat yang sangat bergantung padanya, sementara pada saat yang sama, kebijakan negara gagal bertindak sebagai pelindung yang efektif.
Konsekuensinya parah: banyak nelayan terpaksa mencari peluang jauh hingga ke perairan internasional, bekerja di kapal-kapal asing dalam kondisi kerja yang seringkali digambarkan **mirip dengan perbudakan modern**. Ini adalah bukti nyata bahwa masalah mereka bukan soal kurangnya kemauan untuk bekerja, tetapi soal kegagalan sistem untuk menciptakan lapangan bermain yang adil.