Anak-anak
balita muntah cacing terjadi lagi di RI eks pejabat WHO soroti hal ini

Berita tentang seorang balita di Seluma, Bengkulu, yang mengeluarkan cacing dari mulut dan hidungnya kembali menyoroti isu kecacingan di Indonesia. Kasus ini, yang terjadi pada balita berusia 1 tahun 8 bulan bernama Khaira, menjadi pengingat yang menyedihkan tentang masalah kesehatan yang seharusnya sudah dapat diberantas di negara yang sudah merdeka selama 80 tahun ini. Cacing yang diidentifikasi sebagai cacing gelang (Ascaris lumbricoides) bahkan ditemukan telah bersarang di paru-paru balita tersebut, memaksa ia harus menjalani perawatan intensif. Kejadian ini juga membangkitkan ingatan publik akan kasus kematian seorang balita di Sukabumi yang ditemukan memiliki sekitar 1 kilogram cacing di dalam tubuhnya.
Menurut Prof. Tjandra Yoga Aditama, mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, munculnya kasus kecacingan yang berulang ini bukan sekadar insiden tunggal, melainkan sebuah indikasi adanya masalah yang lebih luas dan sistemik di berbagai wilayah di Indonesia. Prof. Tjandra menekankan perlunya penanganan yang komprehensif, dari hulu ke hilir, yang didasari oleh analisis mendalam tentang mengapa masalah ini masih terus muncul. Ia menyayangkan fakta bahwa di usia kemerdekaan Indonesia yang ke-80, masalah kecacingan masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan anak-anak.Prof. Tjandra memaparkan setidaknya tiga persoalan mendasar yang menjadi akar dari masalah kecacingan pada anak di Indonesia. Pertama, kecacingan dikategorikan sebagai “penyakit tropik terabaikan” (neglected tropical diseases). Istilah ini menunjukkan bahwa masalah ini kerap kali terabaikan oleh pihak-pihak terkait, baik dari sisi kebijakan maupun implementasi program kesehatan. Sikap abai ini mengakibatkan penanganan yang tidak optimal dan membuat kasus-kasus kecacingan terus berlanjut tanpa ada solusi yang tuntas.Kedua, masalah kecacingan sangat erat kaitannya dengan masalah gizi buruk atau kekurangan gizi pada anak-anak.

Prof. Tjandra menegaskan bahwa laporan kasus kecacingan adalah cerminan nyata dari masalah gizi yang memang ada di kalangan anak-anak Indonesia. Anak yang kurang gizi memiliki daya tahan tubuh yang lebih lemah, membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi cacing. Sebaliknya, infeksi cacing yang parah juga dapat memperburuk kondisi gizi anak karena cacing-cacing tersebut menyerap nutrisi dari makanan yang seharusnya diserap oleh tubuh anak. Hal ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.Ketiga, ada persoalan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan, khususnya kemampuan rumah sakit dalam menangani kasus kecacingan yang parah, seperti yang membutuhkan operasi atau pembedahan untuk mengeluarkan cacing dari perut. Prof. Tjandra menyoroti pentingnya penguatan kapasitas dan kemampuan fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit, untuk menghadapi masalah kesehatan seperti ini. Ketersediaan tenaga medis yang terlatih dan peralatan yang memadai sangat krusial untuk

memberikan penanganan yang cepat dan tepat, terutama pada kasus-kasus komplikasi yang membahayakan nyawa anak.Kasus yang menimpa balita Khaira disebabkan oleh infeksi cacing gelang, atau Ascaris lumbricoides. Menurut data dari CDC Amerika Serikat yang dikutip oleh Prof. Tjandra, cacing gelang memiliki ukuran yang cukup besar. Cacing betina dewasa bisa mencapai panjang 20 hingga 35 cm, sementara cacing jantan dewasa berukuran antara 15 hingga 30 cm. Fakta bahwa cacing sebesar ini dapat hidup di dalam tubuh balita Indonesia sungguh menyedihkan dan memprihatinkan.Prof. Tjandra juga menjelaskan siklus hidup cacing yang sangat produktif. Seekor cacing betina dewasa dapat menghasilkan hingga 200.000 telur setiap hari, yang dikeluarkan bersama feses penderita. Telur-telur ini kemudian dapat mencemari lingkungan dan menginfeksi anak-anak lain. Sungguh kasihan jika membayangkan ada ratusan ribu telur cacing di dalam tubuh seorang anak. Setelah tertelan, telur-telur ini menetas menjadi larva. Larva ini dapat menembus dinding usus dan masuk ke dalam aliran darah, kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui sirkulasi sistemik. Salah satu komplikasi yang paling berbahaya adalah ketika larva-larva ini mencapai paru-paru, tempat mereka dapat berkembang lebih lanjut selama 10 hingga 14 hari. Kondisi ini dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan masalah kesehatan serius lainnya.Secara keseluruhan, kasus balita Khaira ini menjadi alarm
bagi pemerintah dan masyarakat untuk tidak lagi mengabaikan masalah kecacingan. Diperlukan upaya serius untuk meningkatkan sanitasi, memberikan edukasi tentang kebersihan diri dan lingkungan, serta memastikan akses anak-anak terhadap makanan bergizi yang memadai. Selain itu, program kesehatan masyarakat, seperti pemberian obat cacing secara berkala, harus digalakkan dan dipastikan menjangkau seluruh anak-anak yang berisiko. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan terpadu, masalah kecacingan dapat benar-benar diberantas dari Indonesia.