Connect with us

Lifestyle

9 Negara yang Masyarakatnya Secara Aktif Mengonsumsi Daging Anjing.

Published

on

Semarang (usmnews) dikutip dari cnbcindonesia.com Meskipun gelombang kesadaran akan kesejahteraan hewan terus meningkat secara global, praktik mengonsumsi daging anjing masih bertahan dan memiliki peminat yang signifikan di sejumlah negara. Bagi sebagian masyarakat, hidangan ini dianggap sebagai warisan budaya dan kuliner turun-temurun, namun di sisi lain, praktik ini terus memicu perdebatan sengit dan kecaman internasional.

Statistik Mengejutkan dan Sisi Gelap Pasokan
Organisasi kesejahteraan hewan, Humane Society International, merilis data estimasi yang cukup mengejutkan: sekitar 30 juta ekor anjing dibunuh setiap tahunnya di seluruh dunia semata-mata untuk konsumsi manusia. Benua Asia tercatat sebagai wilayah dengan tingkat konsumsi tertinggi. Ironisnya, pasokan anjing ini tidak selalu berasal dari peternakan khusus. Sebagian besar anjing yang berakhir di piring saji diperoleh melalui cara-cara ilegal, seperti pencurian anjing peliharaan dari rumah-rumah warga atau menangkap anjing liar di jalanan, yang kemudian dibawa paksa ke tempat penyembelihan.

Peta Persebaran Konsumsi di Asia Praktik ini masih lazim ditemukan di negara-negara seperti China, Korea Selatan, Vietnam, Filipina, Thailand, Laos, Kamboja, hingga wilayah Nagaland di India.

China menduduki peringkat pertama sebagai konsumen terbesar di dunia dengan estimasi 10 juta anjing dikonsumsi per tahun. Tradisi ini telah berakar selama ribuan tahun. Salah satu sorotan dunia tertuju pada kota Yulin, yang terkenal dengan festival tahunan “Lychee and Dog Meat Festival”. Acara ini kerap menjadi sasaran protes keras dari komunitas internasional karena dianggap tidak manusiawi. Namun, angin perubahan mulai berhembus. Pada tahun 2020, kota Shenzhen dan Zhuhai mencetak sejarah sebagai kota pertama di China daratan yang secara resmi melarang konsumsi daging anjing dan kucing. Langkah ini didukung oleh kebijakan Kementerian Pertanian China yang merevisi klasifikasi anjing dari “hewan ternak” menjadi “hewan pendamping”.

Di posisi kedua setelah China adalah Vietnam. Di negara ini, masyarakat mengolah hampir seluruh bagian tubuh anjing menjadi berbagai hidangan, mulai dari sup, semur, hingga sate berbumbu. Motivasi konsumsinya tidak hanya sekadar rasa, melainkan adanya kepercayaan kuat bahwa daging anjing memiliki khasiat obat dan mampu membawa keberuntungan bagi yang memakannya.

Di Filipina, daging anjing dikenal sebagai bahan utama hidangan bernama asocena. Sementara itu, metode penyembelihan di berbagai negara juga menjadi sorotan karena kekejamannya. Di Korea Selatan, metode setrum listrik kerap digunakan, sedangkan di negara lain masih ditemukan cara-cara brutal seperti pemukulan, penggantungan, atau bahkan perebusan hewan dalam kondisi hidup-hidup.

Langkah Hukum dan Larangan Tegas
Di tengah maraknya praktik ini, beberapa wilayah mulai menerapkan aturan ketat. Taiwan menjadi pelopor di Asia dengan melarang konsumsi serta penjualan daging anjing dan kucing pada tahun 2017. Undang-undang di sana sangat tegas: pelanggar tidak hanya didenda dengan nominal besar, tetapi juga dipermalukan di depan umum dan diancam hukuman penjara.

Sementara itu, Hong Kong memiliki aturan yang unik. Penyembelihan dan penjualan daging anjing/kucing sudah ilegal selama beberapa dekade, namun konsumsi dagingnya sendiri belum secara eksplisit dilarang dalam undang-undang mereka.

Bahaya Kesehatan dan Kondisi di Indonesia
Selain isu etika, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan peringatan keras mengenai risiko kesehatan serius dari perdagangan dan konsumsi daging anjing. Aktivitas ini sangat rentan memicu penyebaran penyakit mematikan seperti rabies, kolera, dan trichinellosis (infeksi cacing parasit).

Indonesia pun tidak luput dari sorotan. Meski tidak berada di urutan teratas, tingkat konsumsi daging anjing di tanah air tergolong besar. Diperkirakan sekitar lima persen dari total populasi Indonesia mengonsumsi daging ini. Perdagangan daging anjing di Indonesia dinilai sangat berisiko karena tingginya prevalensi rabies. Kondisi ini diperparah dengan metode penyembelihan dan lokasi penjualan yang sering kali jauh dari standar sanitasi dan kebersihan yang layak, sehingga meningkatkan potensi penularan penyakit zoonosis (penyakit yang menular dari hewan ke manusia).

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *